BANDA ACEH – Pengamat politik Aceh, Taufiq A. Rahim, mengatakan bahwa kondisi Aceh saat ini memprihatinkan. Tidak sinkronnya kerja eksekutif dengan legislative Aceh dinilai menjadi penyebab kondisi tadi terjadi.
Menurut Taufiq, dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan RI yang ditandatangani 9 April 2020, semestinya sudah dapat dilaksanakan sesuai keputusannya 1 Minggu setelah ditandatangani. Namun masih banyaknya pimpinan daerah yang tidak dapat melaksanakan laporan, maka ditunda sampai dengan 23 April 2020.
SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ, Nomor 177/KMK 07/2020, tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020, dalam Rangka Penanganan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional. Sehingga program refocusing dan penggunaan anggaran sebahagian adanya perubahan sebagai anggaran yang dialihkan dengan memanfaatkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), juga laporan dimaksud juga sesuai dengan perundang-undangan. Dalam anggaran penotongan sampai 50% dari anggaran sebelumnya terhadap perubahannya.
“Semestinya dari jangka waktu yang diberikan kepada Pemerintah Aceh, dalam hal ini eksekutif Plt.Guberbur dan SKPA dapat melakukan koordinasi dengan legisltatif (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/DPRA), sehingga Pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) berjalan seiring, bersama, bersinergi dan harmonis dalam rangka mengatasi dan menangani kondisi darurat pandemi corona virus diseases 2019 (Covid-19).
“Namun baru terlaksananya Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) pada 29 April 2020. Meskipun terlambat, namun semestinya secara bersama-sama dilakukan oleh eksekutif dan legislatif dapat terlaksana bagi usaha-usaha positif untuk kepentingan 5,4 juta rakyat Aceh,” ujar Taufiq kepada atjehwatch.com, Minggu 3 Mei 2020.
Akan tetapi, kata Taufiq, para eksekutif terutama Plt. Gubernur dengan Sekretaris Daerah dan dikoordinasi oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Aceh/Bappeda Aceh, semestinya melibatkan dan mengikut sertakan DPRA sebagai legislatif dalam Pemerintahan Aceh.
“Bukan jalan sendiri dan menujukkan egosentris dalam pengambilan kebijakan publik dan politik anggaran Aceh. Sesuai dengan aturan pada poin 28 keputusan tersebut, mesti secara bersama keterlibatan DPRD untuk Aceh DPRA terhadap pengawasan, maka kehadiran DPRA mesti ada sebagai keputusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Aceh APBA Perubahan. Disamping itu secara politik dan etika politik bahwa DPRA mesti terlibat dalam keputusan atau kebijakan publik dan politik Aceh.”
“Bahwasanya secara melekat fungsi legislatif adalah, fungsi anggaran, pengawasan dan legislasi. Dalam hal ini anggaran belanja perubahan dalam masa darurat pandemi covid-19, secara legalitas mesti sangat diketahui dan dipahami oleh DPRA, jika tidak tidak, sangat berpotensi untuk dipertanyakan legalitasnya. Hal ini sesuai dengan fungsi legislatif, sehingga DPRA benar-benar berfungsi dalam Pemerintahan Aceh, meskipun berbagai alasan seperti sedang reses dan lain sebagainya, bukan malah bereaksi pada saat ada pemotongan dan pengalihan dana sebahagiannya menjadi sangat responsif ada yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat dan kepentingan politik,” ujarnya lagi.
Maka, kata dia, tidak mengherankan sebahagian masyarakat memiliki persepsi miring serta meragukan kapasitas dan kompetensi anggota DPRA, meskipun setelah pelantikan September 2019 yang lalu mendapatkan “coaching” dari para pakar dan ahli di Bukit Tinggi-Sumatra Barat.
“Tetapi pada realitas saat ini selalu ketinggalan dan ditingalkan eksekutif, bahkan jikapun diundang DPRA hanya Sekda dan Kepala SKPA yang hadir, mereka hanya pelaksana di Penerintah Aceh, bukan pengambil kebijakan dan keputusan untuk aktivitas demi kepentingan rakyat Aceh. Secara politik kekuasaa posisi eksekutif dan legislatif sama serta setara dalam demokrasi modern. Terlepas siapa memanfaatkan siapa atau siapa yang bodoh dan membodohi siapa.”