GADIS itu sumringah. Ia mendadak loncat dan berdiri. Tingkahnya membuat para pelayan dan pelanggan lain terkejut serta memandang dengan tatapan aneh. Tapi ia tidak peduli dan bergegas menuju ke rak burger untuk memeluk lelaki muda yang dipandanginya sejak tadi.
“Akhirnya ketemu,” ujarnya sambil memeluk tiba-tiba.
Sedangkan pria muda yang dipeluknya, terlihat shock dan terkaget. Ia juga malu dipandangi oleh sejumlah mata di warung itu.
Ia tak tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa gadis itu memeluknya tiba-tiba. Beberapa roti yang dipegangnya jatuh dari tangan.
Jantungnya berdetak kencang. Ini merupakan kali pertama ia dipeluk oleh non muhrim. Apalagi gadis tersebut sangat cantik.
Kepalanya penuh dengan tanda tanya. Ia takut jika sang gadis salah sangka atau bertemu dengan orang yang salah.
“Maaf Mbak bisa dilepas pelukannya dulu. Gak enak dilihat sama orang,” ujar pemuda tadi. Ia Ibnu.
Sang gadis tersadar. Ia tersenyum sambil melihat sekeliling dan kemudian melepaskan pelukannya.
“Maaf ya membuat kamu kaget. Kamu Ibnu Hajar-kan?” ujarnya kemudian.
Ibnu kembali kaget saat mengetahui jika gadis yang memeluknya tadi ternyata mengenal dirinya. Ia mencoba mengingat siapa gadis di depannya itu. Namun memorinya belum menemukan jawaban.
“Kamu Ibnu anaknya Mbak Sakdiah yang pernah bekerja di warung makan Padang di Bireuen? Ingat gak?” tanya sang gadis lagi.
Kali ini Ibnu mengangguk. Memorinya kembali. Namun sosok gadis di depannya masih juga luput dari ingatannya.
Melihat reaksi Ibnu membuat sang gadis kembali tersenyum. Setidaknya ia kini telah menemukan orang yang dicarinya selama ini. Meskipun ingatannya tentang dirinya masih belum hadir.
“Aku Dara. Anak almarhum pak Buyung. Kita pernah tinggal bersama,” ujarnya kemudian.
Penjelasan Dara membuat Ibnu tersenyum lebar. Ia tanpa sadar menyentuh tangan gadis itu. Kemudian ia mendekamnya di dada. Padahal bersentuhan dengan non muhrim adalah pantangan bagi dirinya selama ini.
“Ya tuhan, kamu Dara? Kau sudah besar sekarang ya. Lama tak bertemu, apa kabarmu?” ujar Ibnu kemudian.
Perlakuan Ibnu membuat Dara tersiput malu. Apalagi keberadaan mereka menyedot perhatian semua pengunjung di Warkop itu. Ibnu tersentak sadar. Ia kemudian buru buru melepas tangan Dara.
“Kita duduk di meja itu dulu yok. Aku mau cerita banyak atas apa yang terjadi. Aku merasa bersalah sama kamu, Nu,” ujar Dara kemudian.
Ibnu mengangguk. Dara berarti kakak angkatnya. Belasan tahun berpisah, kini mereka kembali bertemu. Tentu ada banyak hal yang harus mereka bicarakan. Keluarga Dara adalah orang terdekat dalam hidupnya.
“Baiklah kalau begitu. Aku selesaikan permintaan pelanggan dulu. 15 menit lagi aku kesana. Kau tunggu saja,” ujar Ibnu sambil tersenyum. Namun Dara tak juga beranjak pergi. Ia berdiri di sisi Ibnu yang sibuk mengoles mentega dan membuat burger pesanan para pelanggan.
Dara mengamati Ibnu dari ujung rambut dari ke kaki.
“Kau telah tumbuh jadi pemuda ganteng ya, Nu. Untung kita tak benar-benar jadi kakak-adik,” kata Dara sambil tersenyum.
[Bersambung]