+++
MATA Ibnu hampir copot. Ia seakan tak percaya. Ia terkejut luar biasa saat melihat angka yang tertera di buku rekeningnya. Nilai yang tercantum di rekening tersebut selama hampir 12 tahun lebih, ternyata hampir mencapai angka 1 miliar.
Nilai ini terlalu besar baginya. Apalagi selama ini ia hanya mampu mencari uang hari demi hari untuk bertahan hidup.
Uang dengan nilai paling tinggi yang sering dilihatnya selama ini hanya ratusan ribu. Namun sejak kemarin, ia diberi kabar mendapat wasiet dari ayah angkatnya dengan nilai di luar dugaan.
Beberapa hari lalu, ia masih berkutat dengan langkah alternative untuk tetap bisa berangkat ke Australia meski tidak ada beasiswa dan tabungan yang memadati. Kemarin, ia bertemu dengan Dara, dan malamnya mereka langsung berangkat ke Bireuen untuk berziarah ke makan orangtua dan keluarga angkatnya.
Usai ziarah, mereka berkunjung ke bekas rumah almarhum ayah Dara untuk sekedar bernostalgia.
Kemudian keduanya sama-sama bertemu dengan pengacara keluarga besar Dara, Pak Bram di kantor pria itu, serta kemudian sama-sama ke bank yang dituju.
“Jumlah ini total deposit selama ini. Apakah mau dicairkan atau bagaimana pak?” ujar petugas di bank setempat.
Ibnu berulangkali menghitung nol di print rekening miliknya. Ia seakan tak percaya dengan angka-angka yang tertera di sana. Ia seakan tak percaya dengan semua kebaikan almarhum ayah angkatnya, Buyung, yang juga ayah Dara.
Ibnu masih kaku. Tangannya berulangkali menutup wajah. Ia seakan tak percaya dengan apa yang dilhatnya tersebut. Dara dan Bram kemudian mengajak Ibnu keluar dari bank sementara guna menenangkannya.
Mereka bertiga kemudian menuju ke café di sudut Kota Bireuen. Café ini relative sepi dibandingkan warung lainnya.
Di depan café ternyata ada mushala kecil, Ibnu meminta izin untuk wudhu dan salat di sana. Ia ingin bersyujud syukur atas rahmat yang dilimpahkan kepada dirinya selama ini. Ia ingin berzikir untuk mengirim doa kepada keluarganya dan keluarga angkatnya yang telah begitu baik kepada dirinya.
Dara menyusul beberapa menit kemudian.
Ibnu benar-benar terharu atas kehendak tuhan kepada dirinya dalam dua hari terakhir.
Usai salat, Ibnu menemui Bram yang duduk sendiri sambil menikmati Sanger Arabika.
“Dara belum selesai ya?” tanya Bram.
Ibnu tersenyum. “Belum kayaknya. Mungkin sedikit lebih lama,” ujar Ibnu.
Bram tersenyum. Ini merupakan waktu tepat baginya untuk berbicara serius dengan pemuda yang selama ini hanya nama yang ia kenal.
“Ibnu. Keluarga Dara di Sumatera Barat, sedang dalam perjalanan ke Aceh. Mungkin mereka baru tiba sekitar 4 jam lalu. Mereka minta aku menyampaikan langsung wasiet terakhir almarhum Pak Buyung. Apa kamu siap?” ujar Bram tiba-tiba.
Ibnu terpaku. Kapalanya kemudian mengangguk. Wasiat ini paling membuatnya penasaran sejak kembali. Mungkin yang akan disampaikan lebih mengejutkan dari besaran nilai deposit tadi.
“Ini terkait antara kamu dan Dara,” ujar Bram.
{Bersambung]