“Aku tidak tahu,” ujar Ibnu dengan nada pelan.
“Saat kamu pulang ke Ngawi. Aku bertemu dengan Dara, anak ayah angkatku di masa lalu. Aku baru tahu kalau kami dijodohkan sejak kecil,” kata Ibnu lagi.
Riska tertunduk lesu. Ia sebenarnya sudah mengetahui hal tersebut dari Ahmadi. Namun Riska tetap berharap masih memiliki celah untuk dekat dengan Ibnu dan bisa mengubah takdir mereka berdua.
“Kami belum menikah. Dara juga memberiku kebebasan hingga dua tahun kedepan untuk menentukan pilihan. Namun justru hal ini yang membuatku sulit untuk menyakitinya,” ujar Ibnu kemudian.
Ibnu menarik nafas panjang. Ada banyak hal yang membuat dirinya serba salah. Sedikit kesalahan yang dilakukannya justru akan mengakibatkan kedua wanita itu. Maka ia ingin berbicara apa adanya.
“Aku tak tahu takdir seperti apa yang menantiku kedepan. Tapi jika mau jujur, aku menghargai setiap waktu yang kita lalui di masa lalu. Namun untuk saat ini, aku juga tak ingin menyakiti Dara dan tak bisa memberikan harapan palsu kepada dirimu,” ujar Ibnu kemudian.
“Sama seperti komitmen kita dulu. Biarkan waktu mengalir. Saat ini fokuslah pada program magister. Siapa tahu, Riska akan mendapatkan jodoh yang lebih baik kedepan. Rahasia tuhan tidak ada yang tahu,” kata Ibnu.
Riska tak menjawab. Sedangkan Ibnu terdiam usai berkata-kata.
“Hubungan kalian sangat rumit. Tapi aku berharap kalian berjodoh,” sela Dela yang sedari tadi menguping pembicaraan Ibnu dan Riska.
Ibnu mencoba tersenyum. Ia ingin suasana mencair. Namun tak ada kalimat yang tepat yang coba diungkapnya untuk menyenangkan hati gadis di sampingnya itu.
“Bisakah kita tetap berteman?” ujar Ibnu ke Riska.
Tapi Riska menggeleng. Keputusan tersebut membuat Ibnu terkejut.
“Aku tidak bisa berpura-pura Mas dengan apa yang terjadi,” ujarnya.
“Izinkan aku berusaha maksimal untuk membuatmu kembali berpaling padaku. Tapi tentu dengan cara-cara yang baik dan sesuai dengan tuntunan agama kita. Aku akan membuatmu jatuh cinta,” ujarnya.
“Izinkan aku meluluhkan hati orangtuaku dan menantimu hingga batas kemampuan yang kumiliki. Biarkan aku mencintai Mas dalam diam. Namun keputusan akhir ada pada Mas Ibnu sebagai lelaki. Siapapun yang Mas pilih, berarti itu adalah keputusan akhir untukku,” kata Riska.
Ia mencoba tersenyum tapi sorot matanya cukup tajam.
“Bukankah seperti kata Mas di masa lalu, bahwa jodoh yang sah itu ketika ijab Kabul terjadi. Selama hal itu belum terjadi, maka tidak ada ikatan apa-apa. Perjodohan itu hanya ada istiadat,” kata Riska lagi.
Ibnu tak bisa berkata-kata. Suasana hening. Ia mencoba menutup mata dan berharap pesawat segera mendarat di Australia.
Ia benar-benar susah menaklukan argumentasi Riska.
[Bersambung]