Bank Aceh Syariah (BAS) melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Selasa, 16 Juni 2020. Informasi ini beredar melalui media massa, disampaikan langsung oleh humas Bank Aceh, Riza,10 juni 2020. Menurutnya, RUPS adalah agenda rutin sesuai dengan UU Perseroan Terbatas No.40/2007 dan AD/ART PT Bank Aceh Syariah Nomor 47 tahun 2016 dimana Bank Aceh wajib mengadakan RUPS tahunan. Menariknya, rilis yang disampaikan Riza sebagai bentuk klarifikasi ke publik karena makin santernya beredar isu pergantian direksi, sehingga perlu disampaikan bahwa tidak akan ada RUPSLB.
Publik membaca ada kekhawatiran secara internal BAS terutama pengurus bahwa pemerintah Aceh sebagai pemegang saham utama mengadakan RUPS Luar biasa pada 16 juni 2020 sehingga perlu cepat-cepat menjelaskan ke publik bahwasanya rapat tahunanyang diselenggarakan pada 16 juni 2020 hanyalah untuk menyampaikan pertanggung jawaban 2019 saja. Terkesan sekali kelatahan dan kekhawatiran para pimpinan Bank Aceh akan segera kehilangan jabatannya. Padahal jika mereka mempergunakan kekuasaannya untuk memimpin dan mengelola potensi sumber daya BAS untuk memperkuat investasi, bisnis dan perdagangan serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor produktif, mereka tidak perlu latah dan khawatir, pasti pemilik dan pemegang saham mendukung karir mereka.
Bagi publik, termasuk juga penulis, artikel sebelumnya “Bank Aceh wajib ambil peranan atas ketahanan pangan Aceh” dipublikasikan oleh www.ajnn.net, memiliki harapan supaya Bank Aceh Syariah dapat menjadi salah satu institusi dalam merekonstruksi pembangunan ekonomi dan keuangan Aceh paska perdamaian. Harapan ini sangat beralasan, salah satu pertimbangannya UU No.11/2006 tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Tentunya, Aceh memiliki otoritas untuk mengatur wilayah kekuasaannya, termasuk dalam konteks pembangunan perekonomian. Dalam UU tersebut, termaktublah BAB XXII tentang Perekonomian Aceh, lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 154 – pasal 173. Ketetapan hukum ini menjadi legalitas terhadap rekonstruksi struktur ekonomi Aceh.
Maka daripada itu, Bank Aceh yang dikonversikan ke Bank Aceh Syariah (BAS), selain menjadi pionir kelembagaan keuangan Islam, juga memiliki peluang untuk terlibat dalam berbagai bentuk skema investasi, bisnis dan perdagangan di sektor pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas, perikanan dan kelautan, pertanian, UMKM, mendukung berlangsungnya bisnis dikawasan BPKS/KIA/KEK, dan bahkan terlibat dalam investasi pembangunan infrastruktur ekonomi. Semua keterlibatannya mengacu pada prinsip dan skema ekonomi Islam. Jadi, Islam dan Aceh bagaikan “zat ngon sifeut” dapat menjadi bukti baru keberhasilan penerapan ekonomi Islam di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara.
Meskipun kita ketahui, bahwa operasionalisasi Bank Aceh Syariah sangat tergantung dari kontrol Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun demikian kita yakin kedua lembaga tersebut akan memberikan dukungan penuh untuk meningkatkan kapasitas SDM dan manajemen agar dapat keluar dari ona “nyaman”, dimana kecenderungan kreditnya pada kredit bagi Pegawai Negeri Sipil dan anggota legislatif. Kalau pola ini terus dipertahankan, maka kualitas PNS dan anggota dewan juga dipastikan menurun. Kita dapat bayangkan jika PNS (apalagi guru) terikat dengan kredit konsumtif maka efektifitas kerja atau mengajar pasti menurun, tubuhnya memang berdiri didepan kelas, namun kepala dan pikirannya menerawang guna mendapatkan pendapatan sampingan maka mutu pendidikan Aceh menurun,
Semestinya, kalau pun mereka difasilitasi mengambil kredit, maka pemilik dan pemegang saham (pemerintah Aceh) dapat menetapkan kebijakan agar meringankan suku bunga, jangan sampai kondisi keuangan keluarga yang mandek berdampak negatif pada kualitas kerja dan kinerja dalam memberikan layanan publik. Untuk itu, pembiayaan BAS sudah harus “dipaksakan” untuk pengembangan usaha sektor produktif.
Posisi keuangan Bank Aceh
Berdasarkan laporan tahunan 2018, asset Bank Aceh tercatat Rp 23 triliun dan Juni 2019 sudah mencapai Rp 26 triliun, tentunya posisi keuangan BAS pada Juni 2020 lebih tinggi. Selanjutnya, simpanan pihak ketiga (DPK) hingga Juni 2019 mencapai Rp 23 triliun dengan pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan BAS mencapai Rp 13 triliun. Artinya peluang pertumbuhan pembiayaan masih sangat terbuka, maka pemerintah Aceh sebagai pemilik dan pemegang saham mayoritas dapat “lebih tegas” mengarahkan BAS dapat berperan lebih besar pada sektor produktif, seperti agribisnis, industri rumah tangga, industri menengah dan besar, dan perdagangan.
Data dukungan menunjukkan, saat perayaan ulang tahun BAS ke-46, direktur utama BAS menyampaikan bahwa segmen pembiayaan BAS diklasifikasikan ke produktif, konsumtif, investasi serta modal kerja. Hanya saja, dana yang disalurkan ke sektor produktif baru mencapai 10 % dari total pembiayaan Rp 13 triliun per juni 2019. Angka tersebut masih sangat kecil mengingat potensi ekonomi, investasi dan bisnis Aceh utamanya disektor produktif terbuka luas. Kalau pembiayaan agribisnis dapat ditingkatkan, maka peluang BAS meraih keuntungan berlipat ganda. Jadi PAD Aceh dari 256,6 milyar di tahun 2018, dapat mencapai triliunan dalam 2-3 tahun kedepannya.
Semestinya, Bank Aceh setelah dikonversikan ke Syariah, jajaran direksi dan komisaris dapat secepatnya mengambil inisiatif untuk membangun Skema bisnis pembiayaan sektor produktif dengan intervensi pembiayaan hulu – hilir. Jadi, pengembangan skema pembiayaannya dapat diarahkan pada level budidaya (production) dan pengolahan hasil produksi (processing), dan bahkan pemasarannya (trading). Menjadi pertanyaan, apakah skema ini dipahami oleh jajaran pengurus ? Jawabannya; bahwa mereka sangat memahaminya dan sudah sering didiskusikan, bahkan UKM center pun sudah dibentuk. Jadi, kenapa juga masih jauh dari harapan pemilik saham dalam pembiayaan di sektor produktif. Tentunya, hanya pimpinan BAS lah yang bisa menjawabnya secara tepat, sedangkan publik masih beranggapan pihak manajemen BAS masih sulit keluar dari zona nyaman dan mapan. Padahal, kita sadari bersama setiap pelaku bisnis, segala kemungkinan resiko harus dihadapi dan dikelola dengan baik supaya mencapai keberhasilan.
Skema Pembiayaan Agribisnis
Pada RUPS Bank Aceh Syariah (BAS) yang direncanakan akan berlangsung pada 16 Juni 2020, pelaku usaha sangat berharap agar pemegang saham dapat lebih tegas pada pengurus BAS, utamanya jajaran direksi dan komisaris supaya segera merumuskan skema pembiayaan dan bisnis dalam mendukung pengembangan agribisnis Aceh. Kita memiliki lahan tidur yang luas, jumlah usia angkatan kerja yang tinggi, dan BAS memiliki peluang dana besar, potensi ini harus kita arahkan pada pengembanhan agribisnis Aceh. BAS dapat membangun kemitraan dengan BPR Mustaqim maupun BPR dan koperasi lainnya yang memiliki visi dan misi pengembangan usaha agribisnis Aceh. Pembuktiannya, pemegang saham berikan kesempatan pada direksi dan komisaris untuk menyiapkannya dalam 3-6 bulan, berikan reward and punishment agar BAS menjadi institusi ekonomi Islam yang diperhitungkan kedepan.
Termasuk juga pemasaran, Aceh terkenal dengan dagang/niaga, bahkan generasi tua kita mampu menguasai pasar Medan, Penang dan bahkan Singapore. Tetapi, generasi hari ini baru hanya mampu membanggakan kesuksesan masa lalu, namun kita belum mampu menjadi pelaku baru yang sukses seperti generasi sebelumnya. Namun demikian, peluang kearah sana sudah mulai tampak, pedagang Aceh sudah mampu mempengaruhi pasar Malaysia, diperkirakan ada 13.000 – 15.000 pedagang Aceh yang mengembangkan usaha dagangnya melalui Kedai Runcit di Malasyia. Mereka hadir mulai dari perkotaan sampai pedesaan, bahkan Komisi Koperasi Malaysia sudah mulai memberdayakan mereka untuk mendistribusikan pangan bagi seluruh warga Malaysia dengan harga yang terjangkau. Peluang bisnis ini harus kita ambil dan pemerintah Aceh dapat mendukung langkah pemerintah Malaysia tersebut.
Jadi, pada dasarnya petani Aceh gigih dan gigeh, naya saja selama ini tidak ada jaminan pasar, untuk itu kita dapat arahkan untuk membudidayakan segala jenis sayur mayur, pangan dan produk hortikultura dengan memanfaatkan peluang pasar di Malaysia. Ayolah, ini peluang agribisnis yang luar biasa yang dapat kita manfaatkan, BAS jangan sampai ketinggalan untuk berpartisipasi.
Untuk itu, Peluang diatas dapat menjadi strategi kita untuk menunjukkan bahwa Bank Aceh Syariah dengan skema investasi dan bisnis Islam juga go international. Untuk itu, BAS harus segera membenahi diri, terutama sistem informasi dan teknologi, rebut peluang agribisnis di Aceh dan pasar Asia Tenggara. Jadi kalau IT tidak dibangun secara lebih modern maka BAS kembali tertinggal kereta dan akhirnya hanya mampu meraup pasar kredit konsumtif dari pegawai negeri saja, mengelola dananya APBA dan APBK dan Aceh yang dikenal gigih dan gigeh ternyata hanya mampu mengelola uang dalam kantongnya saja, sebaliknya tidak mampu memproduksi dana baru. Ayo ! momen RUPS besok, tunjukkan kapasitasmu wahai Bank Aceh Syariah.
Penulis adalah Juanda Djamal, pendiri Koperasi Beng Mawah (BMW) dan ketua fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Besar