Oleh : Roni Haldi
Yang memimpin kadang sering menyepelekan hak bawahan yang dipimpinnya. Yang miliki kuasa merasa sepenuhnya mengatur kehendak dan selera orang lain yang tak punya daya. Yang kuat acap kali menindas yang lemah. Yang lemah selalu berusaha bangkit membela diri dari ketidakadilan. Yang ditangannya digenggam kuasa tentu gunakan kekuatan kekuasaan untuk mensosialisasikan keberadaan posisinya. Selalu ada perlawanan orang yang menyebut dirinya “bawahan” sebagai wujud menjawab kata hati terhadap perasaan yang telah berubah menjadi persepsi diri atau kelompok.
Tatkala Nabi Musa Alaihi salam melakukan sebuah kesalahan namun kemudian ia ikuti segera dengan mohon ampun kepada Allah sebagai bentuk kesadaran akan kesilapan diri. Sama halnya dengan Abu Bakar As Shiddiq yang berucap : “Ya Allah, Ampunilah aku. Tentang apa yang mereka tidak ketahui pada diriku dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka duga tentang diriku.”
Ketika Nabi Musa Alaihi salam lebih memilih membela seorang laki-laki yang tertindas dari kaumnya Bani Israil yang berakhir dengan terbunuhnya lawan perseteruan itu tak lain adalah pengikut Fir’aun penguasa Mesir. Perkelahian yang berujung kekalahan dan kehilangan nyawa dari pengikut Fir’aun tentu bukan tak berasalan terjadi tak mampu dihindari. Itu adalah akumulasi dari persepsi diri dan masyarakat Bani Israil yang sering didzalimi diperlakukan tak adil. Berangkat dari rasa pribadi melampaui persepsi diri dan akhirnya meluas menguat berubah menjadi persepsi umum dalam benak seluruh Bani Israil.
Takut itu ternyata tak pandang bulu. Seorang Nabi pun mengalami dihinggapi rasa takut. Hasil perbuatannya dimintai pertanggungjawaban oleh Fir’aun sang penguasa. Keluarlah Nabi Musa alaihi salam dari kota Mesir dalam suasana hati yang sulit digambarkan. Rasa takut, waspada kalau ada yang menyusul atau menangkapnya. Sambil berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.”
وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَىٰ رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ
Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.” (Q.S. Al Qashah : 22).
Kepergian Nabi Musa Alaihi salam keluar meninggalkan kemegahan negeri Mesir dan istana Fir’aun menuju negeri Madyan. Ada sebuah pengajaran berharga yang diajarkan kepada kita. Kepergian dalam suasana ketakutan hati dan kewaspadaan diri dari segala bentuk ancaman kekuatan kekuasaan diawali dengan lantunan do’a : “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.”
Tampak jelas bahwa Nabi Musa Alaihi salam miliki kekuatan konsep diri. Yaitu kesadaran pribadi yang utuh, kuat, jelas dan mendalam tentang arah dan tujuan hidup, pilihan jalan hidup beserta prinsip dan nilainya. Konsep diri yang menciptakan perasaan terarah dalam struktur kesadaran pribadi kita. Kesadaran yang mempertemukan antara kehendak-kehendak Allah dengan keinginan-keinginan kita manusia. Seorang muslim tidak bertanya tentang apa yang ia inginkan bagi dirinya dan hidupnya. Namun, seorang Muslim akan bertanya terhadap apa yang Allah SWT inginkan bagi dirinya. Seorang muslim tidak bertanya, “saya ingin menjadi apa?” Namun, seorang muslim harus bertanya, “Allah menginginkan saya jadi apa?”. Sebagaimana dinukilkan Anis Matta dalam Delapan mata air kecemerlangan.
Imam At Tirmidzi dalam Sunannya menyampaikan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa salam tentang perlunya konsep diri seorang muslim :”Janganlah kamu menjadi pengikut buta(orang yang tidak memiliki prinsip hidup), yaitu orang yang berkata, “Apabila manusia berbuat baik, maka kami akan berbuat baik, dan apabila mereka melakukan kedzaliman, maka kami akan melakukan kedzaliman juga. Akan tetapi, tetapkanlah pendirian-mu. Apabila manusia berbuat kebaikan, maka kamu juga akan melakukan kebaikan, dan apabila mereka berbuat kejahatan, maka janganlah kamu ikut melakukan kejahatan (kedzaliman).
Kehidupan dunia adalah wasilah menuju kehidupan akhirat yang kekal selamanya. Allah telah tetapkan jatah hidup untuk semua makhluk-Nya. Orang yang akan miliki kebahagiaan tiada tara adalah yang meraih keridhaan dari Sang Pencipta. Miliki Konsep diri adalah salah satu upaya ke arah sana. Karena tujuan hidup hamba adalah beribadah kepada Allah SWT. Yang miliki Konsep diri takkan mudah berubah menjadi pengekor.
Jangan pernah mau jadi pengekor yang selalu dipaksa patuh mengikuti membuntuti. Apalagi menjadi pengikut setia sampai mati kepada makhluk bukan Khalik. Ikuti manusia selama mereka baik dan dalam kebaikan. Tetap dalam kebaikan walau yang jadi ikutan dan panutan keluar jauh dari kebaikan. Contohlah Nabi Musa Alaihi salam, kepergiannya tak sampai menggunakan, takut dijatuhkan harga diri dan kedudukannya. Yang ia takutkan adalah kalimat pamungkas tirani, “Bersama kami atau kami jadikan musuh.” Namun, langkah arah kakinya ke arah negeri Madyan mendekatkan dirinya menuju kebenaran yang terang. Teruslah melangkah menapaki ke arah kebenaran yang penuh dengan kebaikan. Dan berdoa agar ditetapkan dalam kebenaran.