Oleh : Muhammad Zaldi*
DELUSI adalah salah satu jenis gangguan mental serius yang dikenal dengan istilah psikosis. Psikosis ditandai dengan ketidaksinambungan antara pemikiran, imajinasi, dan emosi, dengan realitas yang sebenarnya. Orang yang mengalami delusi seringkali memiliki pengalaman yang jauh dari kenyataan. Begitulah penulis mencoba menggambarkan sejak awal ide perjuangan, imajinasi, hingga apa yang terjadi pasca damai. Semua yang terjadi kini sangat jauh dari ide awal perjuangan. Tujuan perjuangan seperti yang ditulis oleh Hasan Tiro “Saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan dapat mengatur dirinya sendiri”, begitu keinginan sang deklarator Aceh Merdeka Hasan Tiro dalam Prince of Freedom: The Unfinished Story of Teungku Hasan di Tiro.
Penulis tidak mencoba menyalahkan pihak manapun, hanya saja delusi perdamaian adalah bukti bahwa strategi dari pihak yang bersebrangan berhasil. Iya, tentu semua orang tahu bagaimana Aceh kini, carut marut dari politik, pakan lembu, blok migas, dan lain-lain. Semuanya menguntungkan elit dan konco-konco politiknya, sebut saja oligarki. Tak ada dinamika pembahasan yang menguntungkan rakyat Aceh. Atau mungkin kadang kala ada, tetapi itu hanya respresentatif dari perwakilannya di gedung sana. Sejahtera adalah kata yang sudah sering terdengar pada telinga masyarakat, namun hingga kini wujudnya masih ghaib.
Memang perjuangan tidak sepenuhnya menghantarkan pada kesia-sian. Konon sudah banyak manfaat yang di rasakan berkah dari perjuangan, sebut saja kekhususan mengatur pemerintahan sendiri, hingga kucuran trilliunan rupiah sebagai ganti rugi. Namun hingga puluhan trilliun yang sudah di kucurkan hingga kini, masih banyak masyarakat yang tidak berpenghasilan. Bukan karena mereka orang-orang malas, tetapi mereka tidak mengerti apa yang harus dilakukan, mereka tak meminta bekerja pada instansi pemerintah. Hanya saja, keinginan mereka agar pemerintah turut serta mendampingi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Pemerintah harus hadir dalam elemem 23 kabupaten/kota yang ada, jangan pilih kasih.
Hal semacam ini terjadi bukan tanpa alasan. Tentunya pemimpin hari ini adalah yang di lahirkan oleh demokrasi. Nietzche mengatakan “Demokrasi melahirkan pemimpin yang sepemikiran dengan yang memilihnya”, artinya pemimpin hari ini adalah representasi dari suara pemenang pada pemilihan 2017 silam. Jika pemimpin hari ini berhasil, dapat diartikan pemilihnya juga cerdas. Namun jika pemimpin hari ini gagal, maka itu adalah kesalahan dari mayoritas suara pemilih. Demokrasi menjamin semua orang memiliki hak memilih, tetapi tidak dapat menjamin pemimpin yang terpilih akan berhasil. Karena kebenaran dalam sistem demokrasi dilahirkan oleh suara terbanyak. Lantas bagaimana cara merubah agar menjadi lebih baik? Memperbaiki sistem? Penulis rasa tidak. Semuanya dapat diperbaiki dengan cara pendidikan politik secara komprehensif.
Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai politik tersebut kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia atau warga negara.
Pemahaman masyarakat hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga masyarakat masih ada yang dibodoh-bodohi atau diberikan janji–janji manis. Dalam realitanya atau penerapannya tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan ketika sudah berhasil duduk.
Untuk mencegah hal–hal yang tidak diinginkan kembali terulang, sehingga diberikanlah pendidikan politik kepada masyarakat oleh parpol. Sudah saatnya pendidikan politik bagi masyarakat dalam segala kalangan usia diwujudkan dalam kegiatan yang nyata. Bukan hanya tertera pada UU partai politik ataupun menjadi program-program di atas kertas tanpa realisasi bagi partai politik.
Oleh karena itu, memilih bukan kesadaran sendiri, tetapi mengikuti pilihan tokohnya. Pendidikan politik ini berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Dalam filosofi pendidikan, belajar merupakan sebuah proses panjang seumur hidup artinya pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan.
Menurut pandangan penulis, pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks dan dinamis. Pendidikan politik bagi generasi muda sejak dini amatlah vital dalam mendukung perbaikan sistem politik ke depan. Pendidikan politil juga tidak hanya harus di lakukan oleh partai politik, tetapi juga bisa di lakukan oleh semua kalangan: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komunitas-komunitas, kampus dan lain sebagainya.
Pengetahuan sejak dini terhadap komponen-komponen kenegaraan, arti nasionalisme, hak dan kewajiban, sistem pemerintahan, pemilu, dan segala seluk-beluk politik akan melahirkan orang-orang yang berkapasitas dan memiliki arah dalam perbaikan bangsa dan negara. Ketimbang orang orang yang beranjak dari perut lapar dan modal awal, yang ujung-ujungnya adalah makan sebanyak-banyaknya ketika menjabat. Maka pendidikan politik menjadi hal yang sangat urgent saat ini di tengah problematika politik di Aceh yang semakin carut marut.
*Penulis adalah Founder Political Institute & Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry.
Email : Muhammadzaldi1001@gmail.com








