Oleh : Roni Haldi
Dalam bahasa Arab elit dikenal dengan istilah الملاء. Al mala’ disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 30 kali tersebar pada 12 surat dalam bentuk ma’rifah 29 kali dan 1 kali nakirah. Kata Al mala’ lebih banyak mengarah maksudnya kepada manusia merujuk kisah umat terdahulu. Kata Al mala’ sangat erat kaitannya dengan كبراء kubara’ dan شاذة syadzah yang menggambarkan kontruksi sosial masyarakat.
Ibnu Faris dalam Asas Al Balaghah memaknai Al mala’ dengan yang memenuhi dan kesetaraan. Dan Ibnu Manzur mendefinisikan dengan pemimpin dan pengayom. Sehingga para ulama menyepakati memaknai Al mala’ dengan arti pemimpin, tokoh bahkan kelompok masyarakat yang punya penguasaan terhadap materi dan jiwa. Materi harta dimiliki penuh dan ditambah jiwa diri yang berkharisma. Perannya mampu mengubah mengatur arah pandang masyarakat umum.
Al Qur’an umumnya menggunakan kata Al mala’ diikuti didahului oleh kata min من dan didominasi kata min qaumihi (dari sebagian kaumnya). Isyarat menunjukkan bahwa persentase jumlah Al mala’ hanya sebahagia kecil dari kelompok sosial masyarakat bukan mayoritas. Salah satu karekteristik dominan Al mala’ merasa tersaingi oleh seseorang atau kelompok baru yang tak sama dengannya. Terusik dengan kehadiran ide gagasan baru, tersinggung dengan pandangan berbeda dengannya, menolak mengakui kalau bukan dari diri atau kelompoknya, memandang rendah kedudukan posisi selainnya. Jadikanlah Al mala’ menggunakan seluruh potensi materi dan kharisma jiwa untuk mempertahankan bahkan memotong habis kemungkinan dominasi orang atau kelompok yang dianggapnya menyaingi.
Salah satu kontribusi kedengkian Al mala’, menggunakan seluruh potensi kekuatan kekuasaan melakukan penentangan terhadap para Nabi dan Rasul. Lihatlah bagaimana Al mala’ menentang Nabi Syu’aib dan Nabi Musa alaihima salam, para elit memimpin kendali misi penolakan risalah dakwah Nabi. Ibnu Asyur mengistilahkan para elit memposisikan diri sebagai jubir mengatasnamakan kaumnya menentang menolak kebenaran.
Mereka bukan orang sembarang. Mereka adalah tokoh terpandang, kaya hartawan, cerdik lagi pandai.
(قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا ۚ قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ)
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syuaib berkata, “Wahai Syuaib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami.” Syuaib berkata, “Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak suka? (Q.S. Al A’raf : 88).
Sombong bukan barang asing, mereka para elit pemuka masyarakat menyombongkan diri dihadapan Nabi Syuaib alaihi salam. Sombong berentet setelahnya ancaman. Memilih beriman maka keluar jauh pergi tinggalkan kampung halaman. Di usir atau tetap dijalan nemek moyang. Yang menerima ancaman tak hanya pengikutnya bahkan Nabi Syuaib alaihi salam pun merasakan. Sama halnya dengan Nabi Musa Alaihi salam, hasutan mulut para al mala’ berhasil memprovokasi memperdayai Fir’aun agar memusuhi dan mengambil sikap tegas terhadap segala potensi pengganggu kekuasaannya. Merasa berkuasa penuh terhadap Bani Israil rakyatnya, ancaman bunuh seluruh bayi laki-laki pun dimaklumatkan Fir’aun di seantero negeri Mesir. Sebagaiman dikisahkan dalam Al Qur’an.
(وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ ۚ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ)
Dan para pemuka dari kaum Fir‘aun berkata, “Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?” (Fir‘aun) menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.”
Semua itu ada kesudahannya. Yang dimulai akan menemui akhir tak terkecuali. Berbuat buruk menemui akhir yang buruk juga. Baik para elit pemuka penentang Nabi Syuaib maupun penentang Nabi Musa alaihima salam.
(ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ مُوسَىٰ بِآيَاتِنَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ فَظَلَمُوا بِهَا ۖ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ)
Setelah mereka, kemudian Kami utus Musa dengan membawa bukti-bukti Kami kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya, lalu mereka mengingkari bukti-bukti itu. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al A’raf : 103).
(فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ)
Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka. (Q.S. Al A’raf : 91).
Para elit penentang Allah dan Rasul juga mati berkesudahan. Sombong para elit pemuka dikarenakan posisi penting ternyata mengantarkan diri mendekati pada azab balasan. Fir’aun beserta para elit kaumnya ditenggelamkan kesombongan mereka di laut merah. Sedangkan para elit pemuka kaum nabi syuaib di guncang gempa mati bergelimpangan. Itulah akhir kesudahan para elit penentang.