Oleh Muhammad Zaldi*
Dalam beberapa hari terakhir perbincangan terkait calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) dalam bursa pencalonan menjelang Pilkada 2022 mendatang terus mengerucut. Ada beberapa nama lama dan baru yang muncul ke permukaan publik seperti Muzakir Manaf (Muallem), Ir. Nova Iriansyah, Teuku Riefky Harsya, M.Nasir Djamil, dan TM Nurlif, Sudirman (Haji Uma), hingga sosok Tu Sop Jeunib.
Berbagai survey secara mandiri melalui polling yang dibuat oleh masyarakat terus bermunculan, namun rasanya semangat menyambut Pilkada 2022 mendatang harus sedikit di rem. Pasalnya, hingga kini sejak Gubernur non aktif Irwandi Yusuf tersandung kasus dan kini mendekam di Suka Miskin. Aceh hampir 2 tahun masih di pimpin oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Nova Iriansyah yang sebelumnya merupakan Wakil Gubernur.
Hal semacam ini harusnya menjadi prioritas bersama bagi segenap elemen masyarakat baik dari kalangan civil society maupun elit politik. Konon yang terjadi malah sebaliknya, yang semestinya semua pihak harusnya mendorong agar Plt Gubernur Nova Iriansyah harus segera di definitifkan bukan terkesan membiarkan proses tanpa progres.
Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur, bak buah simalakama Nova Iriansyah tak bisa berbuat sepenuhnya. Banyak program-program prioritas yang harusnya direalisasi malah tersendat. Lambannya proses politik ini adalah kesalahan bersama atas politik balas dendam yang di mainkan oleh banyak pihak. Lagi-lagi, rakyat Aceh menjadi korban kepentingan elit.
Penulis berpendapat bahwa sebelum membicarakan Pilkada Aceh 2022 mendatang. Ada baiknya kita sama-sama mendorong agar Plt Gubernur segera di lantik menjadi Gubernur definitif. Karena penulis beranggapan bahwa sudah bukan saatnya lagi bagi semua pihak memikirkan “Asoe dhapu” kelompok sendiri, sedangkan kelompok rakyat terus di korbankan tampa perhatian.
Dalam proses politik semacam ini, harusnya elit politik dan partai-partai baik lokal maupun nasional juga harus mampu memberikan proses edukasi politik bagi masyarakat. Tidak seperti yang terjadi hari ini, sesuatu yang di pertontonkan tidak lain adalah politik balas dendam. Saling sikut, saling tahan, saling merugikan, sama-sama korbankan rakyat.
Terkait dengan munculnya nama-nama baru dalam bursa cagub dan cawagub juga kian melahirkan perdebatan yang cenderung menguras emosi, padahal penghelatan pesta demokrasi itu masih dua tahun lagi. Debat tidak substansial itu hanya akan memperkeruh suasana, tanpa ada solusi konkrit setelahnya. Saling menjagokan pilihan masing-masing adalah harga mati, konon jika di tanyai apakah setelah terpilih nantinya calon tersebut akan mampu menjalankan tugasnya “lagee haba” sewaktu kampanye? Jawabannya pasti tidak. Iya karena memang janji-janji kampanye itu terlalu manis, sampai-sampai jika terlalu sering di dengar bisa menyebabkan mual, muntah-muntah dan sakit hati.
Perdebatan terkait calon pada pilkada mendatang memang sejatinya adalah menunjukan kesiapan dan persiapan ke depan. Namun perlu juga di garis bawahi bahwa kita harus melaksanakan dan mengawasi kinerja pemerintahan hari ini, tetap harus support atas kebijakan yang progresif, dan tetap harus mengawal dan kritik pada kebijakan yang tidak solutif. Hal-hal semacam ini terkesan sering dilupakan oleh masyarakat kita. Terlalu menggebu-gebu bicara masa depan, tetapi masa bodo dengan hari ini.
Di tahun 2022 mendatang memang banyak harapan yang menginginkan adanya orang baru yang memimpin Aceh ke depan. Bukan orang-orang lama yang cenderung hanya menguntungkan sekelompok saja, jikapun nantinya hal itu terjadi maka yang harus di ubah adalah bagaimana memberdayakan masyarakat seluas-luasnya. Atau dalam kata lain penulis menyebut dengan “bek pikee awak droe dilee”. Karena ke depan, proses politik harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, biarkan masyarakat memilih sesuai dengan keinginannya tanpa intervensi, dan bahkan tanpa iming-iming uang seratus ribu serta lainnya.
Dalam perjuangannya Hasan Tiro mengatakan bahwa “Harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini, saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan dapat mengatur dirinya sendiri”. Tentu jelas bahwa ada satu amanat agar kita tidak saling sikut sesama Aceh, dan itu adalah pesan yang harusnya di pahami oleh orang-orang yang mengaku sebagai seorang Aceh!
*Muhammad Zaldi adalah Founder Political Institute.
Email: muhammadzaldi1001@gmail.com