Oleh : Roni Haldi
Dalam bahasa Arab disebut al-mal yang berarti condong, cenderung, miring. Manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Dengan demikian maka dapat di katakan bahwa semua manusia pastinya ingin selalu memperbanyak harta kekayaan dan selalu ingin memilikinya agar bisa menjadikan generasi penerusnya menjadi lebih baik.
Harta adalah salah satu yang bisa membuat kita bahagia, tapi harta tidak bisa seutuhnya menjamin mendatangkan bahagia. Harta dicari dikumpulkan, dikembang dijaga agar bertambah jumlahnya. Harta memang hijau menggiurkan siapa saja tak terkecuali kita. Harta dan tahta, sungguh dua sisi yang tak terpisahkan. Karena siklus perputaran harta jadi bahan bakar menghidup melanggengkan kekuasaan.
Banyak harta seringkali merubah pemiliknya lupa. Merasa tinggi hati dan sombong diri seakan berkuasa mengatur segala, Namun tak disadari harta yang digenggamnya Itu hanya amanah sementara. Diberi oleh Yang Maha Kuasa.
Berapa banyak orang kaya di dunia, mengalami tekanan batin, dikejar harta dan jabatan yang tak berhenti menimbulkan masalah. Sebaiknya, banyak orang miskin tetap bisa mendapatkan kebahagiaan di tengah kekurangan dan memiliki lebih banyak waktu untuk bercengkrama dengan Tuhan-nya.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ.
Qarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan telah banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (Q.S. Qashah : 78).
Allah Swt. menceritakan tentang jawaban Qarun kepada kaumnya ketika mereka menasihati dan memberinya petunjuk jalan kebaikan.
{قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي}
Qarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (Al-Qashash: 78)
Dalam tafsir Al Munir, Dr. Wahbah Zuhaili menyampaikan : “Kasta, martabat, hanyalah batasan-batasan yang dibuat manusia untuk mengotak-ngotakkan diri. Dengan harta yang dikumpulkan dimiliki, Qarun mudah membantah nasehat kaumnya lagi kufur kepada nikmat Tuhannya. “Aku memperoleh harta itu karena usaha dan pengalamanku dengan berbagai macam usaha serta karena kepandaianku atau karena Allah mengetahui keadaanku. Tuhan mengetahui bahwa aku cocok memperolehnya, oleh karena itu mengapa kamu menasihatiku tentang pemberian Allah kepadaku?” Ujar Qarun salah satu pengikut Nabi Musa tatkala tersinggung menerima nasehat berharga dari kaumnya.”
Sama lah halnya dengan apa yang disebutkan Allah melalui surat Az Zumar ayat : 49 :
فَإِذَا مَسَّ الإنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ
Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.”
Yaitu ingin dikatakan, sungguh Allah sangat memahami kondisi diriku terhadap apa yang ada padaku dan aku kendaki. Ungkapan disaat ditimpakan kesusahan yang menyempitkannya. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Al Qur’anul’Adhim menjelaskan, kemudian perhatikan lah sebaliknya, berbeda ungkapan dengan sebelumnya. Tatkala nikmat harta melimpah dimilikinya kalimat yang keluar dari mulutnya berubah jauh dari sebelumnya ketika ia sudah; “ini adalah hakku, semua ini ku raih ku kumpulkan dari jerih payahku semata.” Takut hilang lenyap dari dirinya. Sebagaimana dalam surat Az Zumar ayat 50 :
وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي.
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, “Ini adalah hakku.”
Memang demikianlah yang biasa dikatakan oleh orang yang dangkal pengetahuannya. Bila ia mendapat keluasan rezeki dari Allah, ia akan mengatakan bahwa seandainya dirinya tidak berhak mendapat hal itu, tentulah ia tidak akan diberi. Karena itulah Allah Swt. menyanggah pengakuannya yang mengatakan bahwa Allah memperhatikan dirinya, karena itu Allah memberinya banyak harta.
أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا
Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? (Al-Qashash: 78)
Dahulu ada orang yang lebih banyak memiliki harta darinya, tetapi bukan karena Kami mencintainya. Sesungguhnya sekalipun demikian, Allah Swt. telah menghancurkan mereka disebabkan mereka kafir dan tidak bersyukur kepada Allah Swt. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:
وَلا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (Al-Qashash: 78)
Kalau timbul pertanyaan, apakah yang menghalangi untuk dibinasakannya Qarun? Apakah yang membuat harta Qarun belum dilenyapkan? Bukankah jelas Qarun telah kufur?
Allah Subhaanahu wa Ta’aala dengan pemberian-Nya tidaklah menunjukkan bahwa keadaan orang yang diberi itu baik atau bahkan lebih baik. Banyaknya harta yang dikumpulkan tampak oleh mata bukan berarti itu lebih baik. Banyaknya pundi-pundi uang mereka bukanlah pertanda Allah lebih menyukai mereka. Memang banyak harta banyak pula yang mendekat merapat. Ibarat dimana ada gula disitu ada semut.
Sunnatullah tetap berlaku untuk membinasakan orang yang seperti itu jika ia memang melakukan perbuatan yang menghendaki untuk dibinasakan. Allah akan menghukum mereka, mengazab mereka sesuai yang Dia ketahui tentang mereka. Oleh karena itu, meskipun mereka menetapkan keadaan yang baik untuk diri mereka, bersaksi bahwa mereka berhak selamat, namun ucapan itu tidaklah diterima, dan bahwa hal itu tidaklah menolak azab sedikit pun, karena dosa mereka tidaklah samar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabatnya Hakim bin Hizam,
« يَا حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى »
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan keluasan jiwanya, ia akan diberkahi pada hartanya. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan tanpa berlebihan, maka perumpamaannya adalah seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang.” (HR Bukhari
Ilustrasi yang sangat mengena dari Rasulullah. Kekuatan dan pengaruh harta itu hebat adanya. Dengan harta bisa menduduki tahta meraih kekuasaan tertinggi di dunia. Dengan kumpulan harta banyak orang yang mendekat merapat menghamba diri. Dengan banyaknya harta tak sedikit urusan bisa dituntaskan lewat jalan yang disangka-sangka. Dengan harta menjadikan diri terpandang dihormati walau tanpa diminta.
Tapi ingat! Itu semuanya hanya ada pada saat harta itu masih ada pada kita. Saat harta itu habis hilang binasa, maka musnahlah juga kekuatan beserta pengaruhnya. Harta yang dicari dikumpulkan takkan dibawa mati. Kebahagiaan memang tak pernah karena satu hal saja. Kebahagiaan itu satu paket. Dan bahagia memang adanya di hati. Bukan lagi berada dalam logika dan hitung-hitungan matematika bernama harta. Cari dan kumpulkanlah harta tapi jangan sampai diri lupa.