Menurut pria muda tadi, aktivitas dan komunikasi dilakukan via media sosial seperti Instagram dan Twitter.
“Kalau Facebook tidak ada. Kalau Facebook mudah disorot. Instagram dan Twitter lebih privasi,” kata dia.
“Saat ini ada sekitar 16 orang (binaan-red). Dari 20 hingga 34 (tahun-red). Mereka bisa cari sendiri (pelanggan-red) tapi lokasi kencan tetap kami tentukan biar aman. Kalau order melalui Si Mbak dan saya,” ujarnya.
Di awal-awal pandemi Corona, antara Januari hingga April 2020, kata dia, juga mempengaruhi bisnis tersebut.
“Makanya kami sempat off sebentar. Namun ada yang tetap jalan, mereka cari sendiri. Tapi tidak aman,” ujarnya.
Setiap calon pelanggan baru, kata dia, selalu diverifikasi keseriusannya serta dicek profil mereka.
Sedangkan bagi pelanggan lama, kata dia, diberi kebebasan untuk berkomunikasi langsung dengan ‘anak-anak binaan’ serta tempat kencan.
“Kalau kencan di tempat yang kami tentukan, ditanggung keamanan. Kalau ke tempat baru, bagi pelanggan lama, keamanan tanggungjawab sendiri. Kalau bocor dan ditangkap, juga tanggungjawab sendiri,” ujarnya.
Pernah, kata pria tadi, salah seorang pelanggan dan anak binaan mereka ketangkap di salah satu desa di Aceh Besar.
“Jadi diselesaikan secara adat. Biaya bayar kambing untuk pemuda itu ditanggung sang pelanggan. Mereka dinikahkan. Dua Minggu usai persoalan selesai, mereka bubar dan kembali ke aktivitas masing-masing,” katanya.
Bagi pelanggan lama juga, katanya, bisa booking dalam waktu yang relatif lama.
“Hingga seminggu. Biasanya bawa ke luar daerah. Bayar dimuka. Masalah keperluan selama perjalanan ditanggung pelanggan. Kalau melanggar diluar kesepakatan di luar tanggungjawab kami,” ujarnya.
[Bersambung]