Oleh : Roni Haldi
Benci itu hadir mengganti kedudukan cinta, walau kadang benci tak menutup diri tetap cinta. Benci sesuatu bahkan seseorang atau lebih besar jumlahnya dari itu jangan sampai membenci. Benci yang masuk tertancap tertanam dalam di hati akan merasuk menguasai diri. Benci yang sangat itu namanya membenci. Benci yang terlalu dan terus larut juga disebut membenci.
Punya rasa benci itu wajar lagi manusiawi karena benci bagian dari kodrat manusia pemberian Ilahi Rabbi. Ketika benci berubah naik membenci, batas kewajaran telah pasti dilompati. Padahal Islam mengajarkan ummatnya agar bersikap washatiyyah dalam kehidupan duniawi, apatah lagi dalam hal benci membenci.
Benci itu tidak baik. Bahkan dilarang keras dalam Islam. Sebab benci putuslah silaturahim dan diangkatnya keberkahan hidup.
Sifat benci bisa terjangkit bukan pada siapa saja tak pandang bulu. Benci bukan hanya punya orang awam saja. Alim berilmu dan terpandang pun tak luput terjangkiti bahkan bisa lebih parah lagi. Benci antar keluarga sedarah serumah pun bisa terjadi. Bahkan internal umat Islam diobok-obok persatuannya lewat penyakit benci.
Lihatlah, sejarah mencatat kesumat benci seorang paman terhadap ponakannya sendiri. Pada suatu ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam naik ke Bukit Shafa sambil berseru: “Mari berkumpul pada pagi hari ini!” Maka berkumpullah kaum Quraisy.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa musuh akan datang besok pagi atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?”
Kaum Quraisy menjawab: “Pasti kami percaya.” Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku peringatkan kalian bahwa siksa Allah yang dahsyat akan datang.” Berkatalah Abu Lahab: Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini, engkau kumpulkan kami?”.
Kebencian rupanya telah menutup rapat pintu akal dan hati paman Nabi. Ini juga dialami serupa oleh Nabi Musa yang dibenci mati oleh Fir’aun ayah angkatnya. Hanya bersebab beda pemahaman pilihan siapa yang disembah, walau lama serumah tapi tak membuat benci begitu mudah untuk dihapus dari benak diri Fir’aun. Benci yang dipanas-panasi Hamman pembisik ulung, tak tanggung-tanggung mematik kobaran benci semakin besar berkobar. Walau bukti dirasa cukup mengalahkan akal, namun bisikan jahat pembisik penuh muslihat memancing ego merasa berkuasa Fir’aun hingga menolak apa saja yang berasal dari Nabi Musa Alaihi salam.
Benci yang diperturut akan beralih ke benci mati. Akibatnya, yang baik akan tampak terlihat buruk. Yang buruk diperbuat akan didaulat baik tanpa kompromi. Hati mulai diisi daki dengki ditutup rapat dari nasehat. Tak hanya hati, akal pun akan dibelenggu dijauhkan dari pola keingintahuan diganti disuguhi kalimat suci berselimut tipis doktrin, dikait dekat nilai aqidah agar tak berani dibantah apalagi ditantang ditentang lantang.
Benci itu sederhana. Ada benci individual personal. Dan benci juga kolektif kolegial. Benci pribadi individual bisa dipaksa merebak jauh ke kolektif umumnya orang. Caranya bagaimana? Agar berjalan mulus, dibalutlah benci dengan dalil patuh mendatangkan keberuntungan lagi keberkahan. Abu Jahal awalnya benci diri pribadi kepada ponakannya nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Tatkala benci pekat menutup hati Abu Jahal, menjadikan dirinya benci mati lalu bergerak menghasud menularkan benci diri pribadi berpindah wilayah menjadi benci kolektif ke masyarakat Quraisy. Begitu juga sama halnya dengan Fir’aun, dengan kekuatan kekuasaannya bencinya terhadap Nabi Musa mudah saja dimobilisasi meluas dalam lewat sebuah maklumat yang tak mungkin tak diindah seluruh rakyat Mesir. Jadinya benci diri pribadi merengsek berubah wujud ke benci kolektif walau dipaksakan
“Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku) mereka tetap tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya”. [Surat Al-A’raf 146].
Ternyata benci itu bisa berujung sombong diri busungkan dada. Merasa dirinya atau kelompoknya lebih dalam segala hal dari diri dan kelompok selainnya. Jika sombong sudah memenuhi relung hati, alasan tak lagi didengar apalagi diperlukan. Walaupun hujjah dan bukti fisik lengkap mengungkapkan sekalipun Nash dari Tuhan, tetap tak diindahkan. Konsekwensinya mereka pembenci yang sombong akan tetap terus dipalingkan oleh Allah hati dan akalnya dari kebenaran dan kebaikan. Begitulah disampaikan imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Al Qur’an Al ‘Adzhim.
Pembenci yang sombong, hatinya keras tunggang. Takkan tersentuh lapis kesombongannya walau disuguhi kebaikan berlisan hikmah . Bagaikan melencengnya sebuah garis. Awalnya sangat sedikit, tapi karena panjangnya perjalanan, akhirnya sudah semakin jauh saja menyimpang dari jalur kebenaran. Orang yang melenceng itu tidak sadar kalau dirinya telah melenceng dan jauh melenceng, bahkan sebaliknya mereka akan merasa paling berada di atas jalan yang benar, sekalipun tindakan, komentar dan pilihan-pilihannya sudah semakin jauh dari kewajaran dan aneh terasa dilihat umumnya orang.
Jangan biarkan hati keras tunggang memendam benci tak bertepi. Jika benci diperturut, hati bening berubah gelap pekat. Jika benci diternak dibiakkan, hati bersih berubah kotor hitam keras tunggang. Orang yang membenci penilaiannya tak objektif mudah melenceng jauh dari kebenaran. Membenci akan meninggi dan mengunci hati menyombongkan diri. Ingatlah, jika derajat benci mati telah sampai menyombongkan diri, sungguh azab Allah sudah menanti.