Selain dikenal dengan keindahan alam dan biodata lautnya, Kecamatan Pulau Banyak Barat ternyata dulunya adalah sebuah kerajaan kecil yang berama Pulau Tuangku.
Layaknya sebuah kerajaan pada umumnya, Pulau Tuangku dipimpin seorang raja yang memiliki memiliki Panglima Perang yang siap melindungi rakyat dan wilayah kekuasaan raja dari ancaman musuh.
Sejarah kerajaan di Pulau Tuangku tersebut sering diceritakan oleh orang tua bak cerita rakyat kepada generasi di bawahnya. Sehingga telah lumrah diketahui oleh masyarakat bahwa raja pertama di Pulau Tuangku itu bernama Sutan Malingkar Alam berasal dari Sumatra Barat.
Kerajaan Pulau Tuangku merupakan salah satu kerajaan yang terdapat di Aceh. Bukti peninggalan keberadaan kerajaan ini adalah dengan masih ditemukannya pedang-pedang kuno yang berusia ratusan tahun. Makam raja-raja yang dimaksud pun masih ditemukan di Kampung Lamo Desa Haloban Kecamatan Pulau Banyak Barat Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh
Hingga kini memang belum ada karya ilmiah dari para ahli sejarah yang membenarkan cerita kerajaan di Pulau Tuangku. Namun sejumlah bukti fisik seperti Pedang Sang Panglima cukup menjadi bukti kuat jika keberadaan Kerajaan ini bukanlah hisapan jempol.
Pedang Sang Panglima diperkirakan telah berusia ratusan tahun, namun hingga saat ini masih utuh dirawat oleh kakek Kutarli (60) yang merupakan Keturunan Ke-6 dari Sang Panglima.
Kutarli (60) pernah memperlihatkan pedang tersebut Kepada Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid, Anggota DPRK Aceh Singkil, Taufik Hakim, Kepala Desa Asantola, Mufliadi
“Sudah pernah makan orang ini (pedang) pada masanya (pedang),” jelas Kutarli kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya beberapa bulan yang lalu.
Menurut Kepala Desa Asantola, Mufliadi, pedang pusaka tersebut akan dikeluarkan untuk dibawa oleh seorang pengawal pengantin (keturunan dari Panglima) pada saat acara pernikahan.
Ingin tahu lebih dalam, Bupati Aceh Singkil, Dul Musrid pun menanyakan kisah pedang tersebut .”Jadi pernah sama siapa pedang ini kek?,” Tanya Dul Musrid kepada Kutarli di sela-sela obrolan.
Karena usia pedang lebih tua dari kakek Kutarli, dirinya mengaku tidak bisa menjelaskan lebih dalam tentang kisah perjalanan pedang sang panglima.
“Kalau ceritanya itu, agak kurang teringat. Tingkat saya belum bisa menjelaskan sejelas-jelasnya karena waktu itu saya belum ada,” jelas Kutarli.
Penjelasan kakek Kutarli kepada orang nomor satu di Aceh Singkil itu bukanlah akhir cerita dari Pedang Sang Panglima dan Kerajaan Pulau Tuangku. Pastinya masih banyak kisah yang belum terkuak dan menarik untuk terus ditelusuri dari benda sejarah yang kini masih digunakan sebagai simbol adat serta menjadi kebanggaan masyarakat setempat.
Reporter: Ahmad Azis