Oleh Mita Fitria
Peran perempuan di era kekuasaan tak pernah hilang apalagi memudar begitu saja, melainkan terus melingkar di perputaran peradaban dari masa ke masa. Sebut saja seperti Irwandi Yusuf, di balik kekuasaannya bersinggungan dengan sosok perempuan dibelakangnya. Sama halnya dengan Soekarno yang juga memiliki historis “senandung” perempuan di lingkar kekuasaan. Ada banyak sekali para pemegang kekuasaan lainnya di negeri ini yang memiliki hal yang sama dalam menjalankan amanah sebagai seorang pemimpin.
Tidak hanya menjadi penyemangat yang terus saja berada di balik layar dan memberikan dukungan bagi para penguasa di negeri ini, perempuan juga mampu melibatkan diri untuk mengambil peran penting dalam kekuasaan. Selain kaum laki-laki negara juga membutuhkan kaum perempuan untuk merintis dan membangun negeri ini. Kepiawaian perempuan di dalam mengurus suami dan anak menjadi point tersendiri yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Memiliki kepribadian lembut bukan menjadi bumerang jika perempuan tidak memiliki jiwa pemimpin sama sekali.
Tidak dapat di pungkiri bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor secara signifikan terus saja meningkat, seperti sektor kesehatan, pendidikan, agama bahkan sektor politik tidak lain agar hak perempuan dapat disejajarkan dengan laki-laki dalam mewujudkan keseteraan gender.
Pengaruh perempuan di lingkar kekuasan memang tidak dapat diragukan lagi, banyak potensi dan bakat yang dimiliki oleh seorang perempuan dapat digunakan dalam berbagai sektor-sektor di dalam negera dan negara juga memberi ruang yang sama bagi perempuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari seperti masyarakat pada umumnya untuk mengenyam karir setinggi mungkin.
Salah satu polemik yang masih panas untuk diperbicangkan dalam publik dan politik adalah kesetaraan gender. Kesetaraan gender dalam ruang kepimpinan yaitu keterlibatan perempuan dalam birokrasi. Kesetaraan gender yang terjadi di Indonesia saat ini masih saja menuai pro dan kontra akibat kurangnya pendidikan politik di Indonesia sehingga membuat masyarakat belum peka serta paham terhadap pentingnya partisipasi perempuan dalam dunia politik. Selain itu juga dapat menyebabkan rakyatnya belum lepas dengan budaya patriarki.
Budaya Patriarki adalah suatu sistem yang menempatkan posisi laki-laki sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan dan mendominasi dunia politik. Saat ini isu keseteraan gender kerap kali menonjol dalam bidang pembangunan, tidak saja di Indonesia bahkan di dunia. Walaupun posisi perempuan dalam dunia politik masih saja dipinggirkan dan hanya diberikan porsi yang sangat sedikit oleh pemerintah, tetapi setidaknya perempuan diberi ruang untuk berkiprah di dunia politik.
Seperti masa jabatan presiden Joko Widodo yang tengah berlangsung saat ini keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang sudah mulai terlihat walaupun kapasitas yang dibuka masih tergolong minim. Ini menjadikan salah satu bukti bahwa peran perempuan memang dibutuhkan oleh negara. Realitas kesetaraan gender dewasa ini di Indonesia belum tercapai sepenuhnya, tetap saja masih ada sekat-sekat pemisah antara kaum laki-laki dan kaum perempuan walaupun semaksimal mungkin perempuan menyetarakan haknya dengan laki-laki tetap saja kemampuan laki-laki di cap lebih mampu dalam segala bidang dibandingkan perempuan baik bidang intelegensi, kemampuan dalam bekerja dan daya tahan tubuh.
Organisasi perempuan di dalam negeri kian merebak dari masa orde baru hingga masa sekarang, meskipun bukan perkara yang mudah untuk membangun pergerakan tersebut karena banyaknya komentar-komentar miring yang tidak pernah absen mengiringi jalan pergerakan perempuan. Perempuan seperti sengaja dijauhkan dari kekuasaan terlebih dunia politik, banyak sekali oknum yang beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan untuk mengemban amanah apalagi berkecimpung di dunia politik. Kaum laki-laki merasa bahwa hanya mereka yang menjadi pemeran utama dalam segala bidang sedangkan perempuan tugasnya hanya mengurus rumah tangga.
Dalam konteks ini penulis tertarik dengan pernyataan Najwa Shibab yang mengatakan bahwa,“Kenapa sih perempuan harus disuruh memilih bukankah kita bisa mendapatkan keduanya, pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan posisi perempuan seolah-olah tak berdaya”. Begitulah sepenggal kalimat yang cukup menggambarkan peran perempuan di negeri ini. Dalam artian perempuan mengapa harus dihadapkan dari sebuah pilihan sedangkan pada dasarnya mereka mampu merangkul segala bidang selain kodratnya menjadi seorang ibu.
Dalam konteks ini sungguh perempuan patut diberi ruang tanpa stigma-stigma dominasi maskulin yang melilitnya, karena selain mereka hanya berkapasitas menjadi figur seorang ibu dan hanya pantas berada di sumur, dapur, dan kasur atau akrab disingkat dengan SDK (Sumur Dapur dan Kasur) tetapi mereka juga menempati posisi yang tinggi untuk menjadi obat penawar bagi kewarasan kekuasaan.
Perempuan dapat bertugas di semua lini dan profesi dalam kehidupan, tidak hanya persoalan masak-memasak atau rawat- merawat, tetapi juga strategis dalam kontekstasi kekuasan. Hal ini lah yang penulis sebut sebagai posisi perempuan dalam mewaraskan kekuasaan. Karena tanpa perempuan terkadang kewarasan-kewarasan kekuasan tersebut mustahil terbentuk. Untuk itu penting bagi semua pihak terutama arah kebijakan pemerintah untuk terus membuka jalan selebar-lebarnya bagi perempuan untuk berkarya di lingkar kekuasaan. Akhirnya menjadi persoalan terbesar di sini adalah apakah kaum perempuan saat ini mampu untuk berkontekstasi dalam kekuasaan? Biarlah rumput yang bergoyang yang menjawabnya.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry dan Siswa Sekolah Kita Menulis.