Banda Aceh – Kegiatan hari damai Aceh ke 15 yang dilaksanakan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dengan rencana melakukan tour menggunakan Motor Gede (Moge) dinilai berlebihan dan di luar konteks.
Apalagi yang akan melakukan tour tersebut adalah kalangan orang kaya dari komunitas Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) yang pelaksanaannya selama 3 hari mulai 12 hingga 14 Agustus 2020.
Hal itu disampaikan salah seorang korban konflik Aceh, Ali kepada Atjehwatch.com, Rabu (12/8/2020).
Menurut Ali, kegiatan tersebut hanyalah hura-hura dan menghambur-hamburkan uang saja dengan mengalokasikan anggaran hingga Rp.305,663,796 juta yang bersumber dari APBA yang notabene adalah uang rakyat Aceh.
“Program tersebut sangat melukai hati rakyat Aceh terurama korban konflik,” tuturnya.
Ali menambahkan, alasan yang dikemukakan oleh Ketua BRA Aceh bahwa kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk pengenalan Aceh keluar derah dan dunia serta sebagai pengenalan wisata, ini malah semakin mengada-ada dan BRA sudah keluar dari tujuan pembentukannya yaitu untuk memikirkan keadilan bagi mantan kombatan dan korban konflik serta masyarakat Aceh secara umum sudah jauh melenceng nampaknya.
“Soal pengenalan Aceh yg sudah damai ke dunia luar itu hanya alsan kamuflase mereka saja, demikian juga alasan promosi wisata Aceh, padahal itu sudah ada institusi yang memiliki tupoksi melakukannya,” tanya Ali.
Untuk Ali meminta BRA seharusnya lebih memfokuskan pemikiran dan kegiatannya pada bagaimana Aceh pasca konflik mendapatkan keadilan dan memutus mata rantai potensi konflik lanjutan ke depan.
“Ini malah sudah nyeleneh ke hal-hal yang tidak substantif,” cetusnya.
“Kalaupun mau membuat acara memperingati hari perdamaian Aceh sebagaimana dimaksud, seharusnya berkolerasi dengan semangat perdamaian itu sendiri, bukan malah membuat kegiatan yang terkesan menari-menari di atas luka rakyat Aceh dengan menggunakan dana anggaran reintegrasi tersebut,” timpal Ali.
Menurutnya, terlalu banyak yang harus dikatakan jika menyikapi apa yang dilakukan oleh BRA tersebut.
“Intinya kita sebagai korban konflik sangat menyesalkan dan menolak serta mengecam program yang demikian, karena tidak mencerminkan keberpihakan kepada rakyat Aceh yang hingga saat ini masih menunggu rasa keadilan atas konflik yang pernah terjadi yang akhirnya berujung dengan damai,” ungkapnya.
Untuk itu, dirinya selaku korban konflik berharap kepada para petinggi di Aceh tidak usah bersikap dan berlaku aneh-aneh di saat Aceh masih harus berjuang untuk keadilan pasca MoU Helsinky dengan berbagai ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat atas realisasi MoU dan implementasi UUPA selama ini.
“Apalagi kondisi saat ini di tengah keresahan dan kegelisahan rakyat oleh dampak pandemi covid-19 ini yang tidak ada kepastian kapan berakhir. Semestinya semua pihak peka dengan kondisi ini,” tutupnya.