BANDA ACEH – Katahati Institute bersama The Leader, FAMe, Kontras Aceh mengadakan diskusi daring dengan menghadirkan tiga orang narasumber dari kalangan milenial, yaitu Ihan Nurdin dari Forum Aceh Menulis (FAMe), Teuku Raja Muda D. Bentara (Alumni Mahasiswa FISIP Unsyiah) dan Khalida Zia (Direktur Eksekutif The Leader). Acara yang dipandu oleh Azharul Husna (Kontras Aceh ) ini membicarakan tentang “Milenial mengulik nota kesepahaman Damai.”
Banyak pendapat yang muncul selama acara ini berlangsung. Mulai dari pendapat kalangan milenial tentang memaknai damai sampai hal yang dirasakan saat konflik di Aceh.
Ihan mengatakan bahwa pengetahuan tentang konflik bersenjata di Aceh dan proses damai didapatnya sejak kecil karena Ihan berasal dan berdomisili di Aceh Timur, dua kali harus mengungsi di usia sekolah dasar bukan hal mudah. Jika anak seusianya saat itu berpikir akan belajar apa besok disekolah, Ihan kecil malah berpikir apakah gedung sekolahnya masih akan tetap ada. Bukan tidak berasalan pemikiran tersebut hadir, karena pada saat itu sekolah-sekolah banyak yang dibakar oleh oknum tidak dikenal.
Kemudian saat damai hadir, Ihan sudah kuliah ke Banda Aceh dan memilih “jalan pedang” literasi dengan menjadi jurnalis untuk mengambil peran mengabarkan pengetahuan perdamaian dengan media dan juga menuliskan sejumlah artikel dan buku.
“Literasi sebagai sarana penting untuk menyampaikan pengetahuan dan melibatkan lintas generasi dalam pembangunan perdamaian,” ujar penulis buku Rihon yang akan segera terbit ini.
Berbeda dengan Ihan yang mengalamai dua fase, konflik dan damai Aceh, Khalida Zia yang saat proses damai masih terlalu kecil untuk mengerti konflik dan damai mengetahui tentang konflik dan damai Aceh saat kuliah di Sosioplogi Unsyiah. Zia juga aktif terlibat dalam beberapa tim penulis sejarah konflik Aceh. Tidak sedikit rekam jejak yang ditemukan selama berada di lapangan, mulai dari keluhan masyarakat sampai pada tekanan bathin yang masih dirasakan sebagian masyarakat Aceh. bagaimana tidak, orangtua yang belum tahu pusara anaknya, suaminya dan saudara lainnya. Bahkan kesejahteraan masyarakat Aceh pasca damai pun belum dirasakan sepenuhnya.
“Untuk mencari tahu kebenaran yang dirasakan masyarakat Aceh, maka saya aktif terlibat dalam tim untuk menulis beberapa buku tentang konflik Aceh. Banyak rekaman dan cerita tentang konflik di Aceh. Itu menjadi bukti bahwa perdamaian ini belum selesai. Masih banyak konflik bathin yang dialami sebagian masyarakat Aceh, bahkan ada yang memaknai bahwa perdamaian ini hanya dimaknakan sebagai kompensasi bagi GAM,” jelasnya, (15/8).
Teuku Raja Muda D. Bentara, yang berkesempatan belajar dalam dua ruang berbeda, Aceh dengan pemikiran konflik sebagai rakyat Aceh dan menetap di Jakarta dalam rangka melanjutkan studinya dengan konsemtrasi pertahanan dan pemberontakan, memiliki kesempatan lain memotret Aceh dari sisi nasional. Dalam ceritanya, Muda mengatakan “Ketidakpastian data tentang konflik Aceh, khususnya jumlah mantan kombatan menimbulkan persoalan baru terutama terkait proses reintegrasi dan penyaluran kompensasi.
“Perjanjian damai adalah berkah namun di sisi lain GAM lemah secara politik karena yang hadir mewakili GAM saat perundingan tanpa keahlian diplomat dan bukan yang memahami administrasi negara Indonesia sehingga ada beberapa proses perumusan kebijakan Aceh kemudian seperti UUPA menjadikan Aceh damai tapi sejahtera tidak terwujud,” ujar Muda.
Ketiganya sepakat bahwa milenial mengemban tanggungjawab bersama untuk menjaga pembangunan perdamaian Aceh dengan keahlian masing-masing. Apapun kondisinya, masyarakat Aceh bagian dari penikmat perdamaian ini.
Kaum milenial harus terus mengkampanyekan MOU Helsinki, sehingga masyarakat Aceh terus tahu tentang MOU Helsinki. Jangan jadikan sejarah ini sekedar dongeng belaka namun mulailah dengan membangun paradigma masyarakat untuk selalu menjaga perdamaian dengan tidak melupakan sejarahnya.
Dalam diksui ini, juga diberikan kesempatan kepada penanya untuk memberi pendapatnya tentang makna perdamian. Misalnya apa yang dijelaskan Sudarliadi, salah seorang peserta diskusi daring. Baginya memaknai perdamaian di Aceh adalah memenuhi kebutuhan rakyat Aceh secara umum. Karena perdamaian ini bukan antara RI dan GAM melainkan dengan masyarakat Aceh.
Putri, peserta termuda, bercerita bagaiman dia yang seorang anak tentara yang bertugas di Aceh dan merupakan suku Jawa yang pernah merasa dimusuhi oleh teman-temannya karena profesi orangtuanya. Padahal Putri mencintai Aceh dan ingin mengabarkan kepada teman-temannya yang lain di luar Aceh tentang wajah damai Aceh. []