(Sedikit catatan damai dari pojok Warkop)
15 Tahun itu bukanlah waktu yang singkat. Seorang anak yang lahir pada 15 Agustus 2005, atau bertepatan dengan penandatangan damai, kini sudah hampir dewasa dan bisa dinikahkan. Dua tahun lagi, Aceh harusnya sudah bisa menimbang cucu.
Namun kondisi yang dialami Aceh hari ini jauh dari kata-kata indah. 15 Tahun dilalui dengan janji-janji yang kunjung direalisasi.
Ada banyak poin yang ‘indah’ tercantum dalam MoU Helsinki. Namun hanya beberapa yang diwujudkan.
Ibarat pisau, gagang masih berada di tangan pemerintah pusat. Sedangkan Aceh memegang mata pisau yang tajam. Jika menarik paksa, maka tangan Aceh akan terluka.
Para pejuang Aceh semasa konflik kini rata-rata sudah tua. Sedangkan para generasi muda tak dikaderkan dengan baik. Kini Aceh terancam kekosongan pemimpin berideologi local untuk masa yang akan datang.
Sejumlah aturan kewenangan Aceh masih harus diskusikan kembali pasca damai. Masih diharuskan ada perundingan dalam perundingan.
Soal bendera dan batas laut misalnya. Dua poin ini tak kunjung ada kejelasan. Demikian juga pembagian hasil Migas Aceh.
Soal Otsus misalnya, dana belasan triliun yang diperuntukan untuk Aceh tersebut seolah raib tanpa bekas.
Kalau boleh jujur, dana Otsus yang besar untuk Aceh, hanya dinikmati oleh segelintir elit Aceh. Plus para pejabat Aceh yang bekerja sebagai ASN di lingkup pemerintah Aceh dan Pemkab Pemko di seluruh Aceh.
Ini karena roda Pemerintahan Aceh yang sedang berjalan masih sangat berketergantungan dengan APBA dan Otsus. Sebanyak 60 persen lebih digunakan untuk pembiayaan pegawai. Mulai dari gaji, SPPD, makan minum serta urusan perut lainnya.
Sebahagian lainnya diperuntukan untuk lingkaran yang dekat dengan para penguasa. Cuma bagian terkecil yang diperuntukan untuk masyarakat dalam bentuk ‘bantuan sosial’ agar terus bertahan dengan iming-iming harapan yang tak kunjung direalisasi.
Kondisi ini mengingatkan Aceh pada sejarah masa lampau. Perang Aceh dengan Belanda tercatat dalam sejarah sebagai perang terlama. Ini diakui sedikit oleh negara Kincir Angin tersebut.
Awal-awal penaklukan, Belanda mengedepankan pendekatan militer terhadap Aceh. Namun ternyata kebijakan ini terbukti salah. Hingga akhirnya diutus Christian Snouck Hurgronje atau akrab disapa Teungku Puteh untuk mempelajari karakter masyarakat Aceh.
Taktik adudomba yang disarankan oleh Teungku Puteh pada masa itu pada gubernur militer, ternyata cukup ampuh dan memecah belahkan Aceh. Salah satunya dengan pendekatan personal dengan para ulee balang dan keluarga para marsose di Aceh.
Hanya hitungan tahun, perang-perang besar di Aceh turun drastic. Para pejuang yang tadinya berada di barisan terdepan melawan Belanda akhirnya menjadi sekutu untuk melawan bangsanya sendiri.
Meninggalkan fase Belanda, hal yang sama juga terjadi dalam proses Ikrar Lamteh.
Indonesia di era Sukarno sulit untuk meredam perjuangan Aceh yang melakukan pemberontakan. Kesepakatan itu tercapai pada 7 Maret 1957. Ada sejumlah kewenangan yang dijadikan.
Sama seperti era Belanda, beberapa elit Aceh semasa Ikrar Lamteh juga disajikan dengan harta yang berlimpah. Ada yang mendapatkan kebun kopi hingga jabatan dalam struktur pemerintahan. Namun sejumlah kesepakatan yang tertuang dalam Ikrar Lamteh tak kunjung direalisasi.
Pejuangan DI/TII teredam hingga 20 tahun lamanya. Hingga akhirnya deklarasi di Gunung Halimon pada 4 Desember 1976. Dan fase ini pun telah berakhir pada 15 Agustus 2005 lalu.
Masyarakat Aceh pada periode ini menjadi saksi atas jalannya perjanjian MoU Helsinki. Kita selalu melakukan kesalahan yang sama. Bukan pada perjanjian tapi lebih pada komitmen serta menjaga persatuan. Terbuai dengan fasilitas serta harta yang menumpuk. Melupakan kawan seperjuangan dan mengorbankan rakyat demi ambisi pribadi.
Dimana, kondisi masyarakat Aceh saat ini, seolah mengulang sejarah penaklukan Belanda dan Ikrar Lamteh.
Ini mungkin bukan sepenuhnya kesalahan dari pemerintah pusat di Jakarta. Tapi lebih karena elit Aceh tak pernah belajar dari pengalaman nenek moyang mereka di masa lalu.
15 Tahun yang dilalui ini, harusnya ada catatan akan segala pencapaian damai yang diraih. Ini karena tingkat kepercayaan masyarakat menurun drastic pasca damai.
Elit Aceh tentu akan marah besar jika dikatakan bahwa 15 tahun damai ini terasa takluk. Mereka terbiasa dengan kalimat, ‘GAM berdamai dan bukan menyerah.”
Tapi mereka juga tak mau memperbaiki segala kekurangan yang terjadi. Tak ada evaluasi serta keinginan untuk menuntut komitmen dari janji yang sudah disepakati di Helsinki.
DPR Aceh yang menjadi wakil rakyat juga hanya mampu menjalankan tugas dengan tumpukan aspirasi dari tahun ke tahun. Harusnya, wakil Aceh memiliki tugas yang sedikit berbeda dengan DPR di provinsi lainnya. Salah satu soal indentitas ke-Aceh-an.
Karena, jika perang lama di Aceh, hanya untuk memperoleh dana Otsus yang berlimpah, harusnya Aceh hanya perlu mengikuti jejak Yogyakarta. Mereka tetap memperoleh Otsus tanpa perang.
Penulis adalah Murdani Abdullah, orang biasa dan penikmat kopi. Isi tulisan hanya opini pribadi.