JAKARTA – Pemerintah Indonesia akan memastikan hampir 300 orang Rohingya yang tiba di Aceh pada Senin (07/09) dini hari berada dalam kondisi baik dan sehat selama berada di penampungan, sedangkan UNHCR akan berdiskusi dengan pemerintah agar mereka dapat punya peluang untuk bekerja di Indonesia.
Namun, organisasi non-pemerintah Arakan Project, yang berbasis di Thailand dan telah lama fokus meneliti soal komunitas Rohingya, mewanti-wanti akan ada lagi arus kedatangan orang Rohingya tahun ini yang didalangi jaringan penyelundup manusia.
Bahkan, LSM itu meyakini kapal-kapal komunitas Rohingya akan bertolak dalam beberapa bulan ke depan, terutama di musim puncak yang biasanya jatuh pada “akhir Oktober atau November.”
Dalam penjelasan kepada BBC News Indonesia, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan pemerintah Indonesia akan menggolongkan 297 orang Rohingya sebagai migran ilegal sesuai ketentuan imigrasi.
“Mereka mengakui bahwa sebagian dari mereka sudah terdaftar sebagai pengungsi dari UNHCR di Bangladesh, namun masalah ini akan diverifikasi karena dari status mereka, masuk ke Indonesia secara ilegal, maka diberlakukan ketentuan imigrasi Indonesia sekarang,” ujar Faizasyah, Senin (07/09).
Verifikasi status mereka sebagai pengungsi yang terdaftar di Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) akan dilakukan bersama dengan UNHCR Indonesia, kata Faizasyah.
“Kita bukan negara yang [meratifikasi] pada Konvensi Pengungsi [1951]. Sekarang statusnya mereka adalah illegal migrant karena masuk ke Indonesia tanpa dokumen keimigrasian, lalu akan diverifikasi klaim mereka, apakah mereka punya status pengungsi dari UNHCR Bangladesh, itu kewenangan UNHCR.
“Namun dari sisi pemerintah Indonesia yang paling pokok adalah memberikan bantuan logistik dan memastikan kondisi mereka baik dan sehat,” jelasnya.
Hal senada disampaikan oleh Ann Mayman, perwakilan UNHCR di Indonesia.
“Sekitar 119 dari etnis Rohingya yang datang ke Aceh kali ini sudah terdaftar [sebagai pengungsi] dengan UNHCR Bangladesh, namun kami perlu mengonfirmasi angka itu. Kami tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa mereka adalah pengungsi karena kami belum memeriksa informasi mereka dengan detail,” jelas Ann yang dihubungi lewat sambungan telpon.
“Namun mengingat kita tahu bahwa mereka adalah etnis Rohingya, dan mereka bagian dari grup besar yang berjumlah 2000 ketika meninggalkan Bangladesh pada akhir Januari, kita bisa mengantisipasi bahwa mereka adalah pengungsi Rohingya. Namun kita perlu mendaftar mereka sebelum bisa mengatakan dengan pasti 100% bahwa mereka adalah pengungsi,” imbuh Ann.
Teuku Faizasyah mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan berdiskusi dengan UNHCR terkait para pengungsi “minggu ini” di Jakarta.
Indikasi perdagangan orang
Menurut Chris Lewa dari organisasi non-pemerintah Arakan Project, kelompok berjumlah 297 orang ini merupakan bagian dari sebuah kapal besar yang pada awalnya mengangkut sekitar 800 etnis Rohingya dari Bangladesh pada akhir Maret.
“Kelompok ini pergi dari Bangladesh, kebanyakan dari kamp pengungsi, pada bulan Maret. Mereka pergi dengan menggunakan kapal besar yang dilaporkan mengangkut 800 orang. Mereka mencoba mencapai Malaysia pada bulan April, namun mereka tidak bisa turun dari kapal karena pembatasan akibat Covid-19, sehingga Malaysia mulai mendorong mereka kembali ke perairan internasional,” ujar Chris.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Thailand pada bulan Juni. Pada Juni lalu, sebanyak 94 etnis Rohingya terdampar di perairan Aceh Utara, sebelum akhirnya dibawa ke daratan oleh para nelayan setelah mendapat desakan dari para penduduk setempat.
“Jadi mereka ditolak oleh Malaysia dan Thailand, sehingga mereka mulai pindah ke kapal-kapal yang lebih kecil. Sebanyak 94 pengungsi yang tiba di Aceh itu sebenarnya berasal dari kapal yang sama dengan kelompok [etnis Rohingya yang baru mendarat] ini,” jelas Chris. “Mereka juga berasal dari kapal yang sama dengan dua kelompok yang tiba di Malaysia pada Juni lalu.”
Dalam perjalanan, setidaknya 30 orang dilaporkan meninggal dunia di kapal besar tersebut, ujar Chris.
“Ternyata 30 orang meninggal dunia di kapal, itu kami ketahui dari kelompok Rohingya yang tiba di Malaysia Juni lalu. Kelompok Rohingya Aceh ini juga mengatakan ada 30 orang yang meninggal dunia di kapal. Kami tidak yakin apakah ini 30 orang yang sama, atau 30 orang lagi tewas. Kami belum tahu detil secara keseluruhan,” ujar Chris.
Selain ditolak oleh negara-negara Asia Tenggara, alasan lain mengapa etnis Rohingya terombang-ambing di lautan selama enam bulan adalah karena mereka “dijadikan tawanan” oleh kelompok penyelundup manusia.
“Penyelundup manusia ini ingin dibayar, jadi mereka menawan para penumpang, itulah kenapa kelompok ini menghabiskan waktu lama di lautan sebelum mereka mendarat [di Aceh],” jelas Chris.
“Kami menghubungi beberapa kerabat para penumpang ini, mereka mengatakan telah membayar [biaya perjalanan] pada Mei lalu, namun kenapa mereka belum mendarat saat itu adalah karena belum semua penumpang di kapal telah membayar. Jadi mereka menawan mereka di tengah lautan,” tambahnya.
Menurut Chris, kapal besar yang mengangkut pengungsi Rohingya dari Bangladesh itu diatur dari Myanmar.
“Lalu mereka ke Bangladesh untuk menjemput mereka. Kapal ini tidak pernah memasuki perairan Bangladesh,” jelasnya.
“Saya melihat kapal yang mendarat di Aceh tadi malam, dan ini jelas bukan kapal utama. Jadi para penumpang ini ditransfer ke kapal-kapal yang lebih kecil di tengah lautan. Siapa para penyelundup manusia ini? Kami tidak tahu,” kata Chris.
Ia menambahkan, kapal ini “jelas bertujuan ke Malaysia.”
“Banyak perempuan Rohingya di kapal ini, dibandingkan kapal-kapal di masa lalu. Mereka dikirim ke luar negeri untuk menikahi pengungsi Rohingya lain yang telah berada di Malaysia. Jadi tujuannya jelas ke Malaysia, bukan Indonesia,” ujarnya.
Jumlah anak-anak ‘sangat tinggi’
Dari pantauan UNHCR di lapangan, dari 297 pengungsi yang mendarat di Aceh Senin (07/09) dini hari, sekitar 183 adalah anak-anak. Dari angka itu, sekitar 169 anak berusia di antara 10-18 tahun, sementara 14 anak masih berusia di bawah 10 tahun.
“Ini adalah jumlah anak yang sangat tinggi. Mereka membutuhkan atensi khusus dan aktivitas bagi anak-anak,” kata Ann Mayman dari UNHCR.
Kondisi umum para pengungsi, kata Ann, “lemah, tubuh dan otot mereka membengkak, banyak di antara mereka yang hampir tidak bisa jalan, mereka sangat lelah setelah hampir tujuh bulan di lautan.”
Menurut Ann, pihaknya telah bertemu dengan pemerintah daerah setempat pada Agustus lalu guna membahas nasib 94 pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh Juni lalu.
“Warga Aceh berkarakteristik terbuka terhadap pengungsi. Banyak orang Aceh yang mengenal pengungsi lantaran konflik di masa lalu, sehingga mereka cenderung mendukung pengungsi dan paham apa yang dibutuhkan mereka,” jelas Ann.
Pengungsi anak-anak Rohingya yang tiba pada Juni telah diajari Bahasa Indonesia, sebagai bagian dari rencana jangka panjang UNHCR agar mereka memiliki peluang untuk menetap di Indonesia.
“Saya berdiskusi cukup positif dengan bupati dan walikota [Aceh Utara], kami membahas kemungkinan para pengungsi memiliki hak untuk bekerja agar mereka dapat merawat dirinya sendiri, kami harap dapat meraih kesepakatan dalam beberapa minggu atau bulan ke depan,” ujar Ann.
Untuk saat ini, Ann mengatakan UNHCR akan memastikan “keamanan para pengungsi Rohingya di Aceh, dan menjamin mereka memiliki akses ke layanan-layanan dasar dan sedikit demi sedikit dapat memulai membentuk masa depan, yang sekarang mungkin jauh dari jangkauan mereka namun kita perlu mendukung mereka semampu kita. Kita perlu membantu anak-anak ini.”
Kapal-kapal akan berlayar ‘akhir Oktober atau November’
Chris Lewa dari Arakan Project meyakini ini adalah kapal terakhir yang membawa setidaknya 2.000 pengungsi Rohingya keluar dari kamp mereka di Bangladesh pada periode akhir Januari sampai akhir Maret.
“Sekarang harusnya tidak ada lagi kapal yang mengangkut mereka. Tahun ini saya pikir 2.000 [pengungsi] telah meninggalkan [Bangladesh] pada akhir Januari sampai akhir Maret. Kami mengetahui ada empat kapal, dua kapal lainnya telah kembali ke Bangladesh.
Meski demikian, ia meyakini bahwa akan ada kapal-kapal yang mengangkut komunitas Rohingya dalam beberapa bulan ke depan, terutama di musim puncak yang biasanya jatuh pada “akhir Oktober atau November.”
“Kita bisa memprediksi bahwa kapal-kapal akan mulai berangkat, mengingat kondisi di Bangladesh. Di sana, mereka tidak mau dipindahkan ke sebuah pulau yang direncanakan pemerintah akan dipakai sebagai kamp pengungsi. Di kamp [Cox’s Bazaar], mulai ada banyak restriksi.
“Di sekeliling kamp telah dibangun pagar. Karena Covid-19, para pengungsi tidak bisa keluar kamp, dan layanan yang biasanya disediakan komunitas internasional telah berkurang,” jelas Chris.
Hal itu diamini oleh Ann, yang menambahkan bahwa para pengungsi Rohingya akan terus berusaha keluar dari kamp pengungsi di Bangladesh selama anggota keluarga mereka masih tersebar di negara-negara lain.
“Ini adalah fenomena yang berulang. Sampai negara-negara [Asia Tenggara] dan tentunya negara yang paling khawatir dengan masalah ini, belum memutuskan untuk membawa perdamaian ke Myanmar, dan menciptakan kondisi yang memungkinkan para pengungsi untuk pulang dengan aman dan dengan harga diri mereka utuh, hal ini akan selalu terjadi, selalu. Jadi formulanya sangat sederhana,” imbuh Ann.
Kapal yang membawa sebanyak 297 orang pengungsi etnis Rohingya mendarat di Pantai Ujung Blang, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe, Provinsi Aceh, sekitar pukul 00.30 WIB, Senin (07/09) dini hari, kata otoritas setempat.
Keterangan yang dihimpun staf UNHCR di Lhokseumawe menyebutkan bahwa pengungsi Rohingya itu “tujuh bulan di laut”.
“Dari keterangan mereka, sudah 7 bulan di laut,” kata staf UNHCR di Lhokseumawe, Oktina, kepada wartawan, Seninm (07/09).
Pada Senin siang, sebanyak 297 orang pengungsi Rohingya tersebut sudah ditempatkan sementara di gedung Balai Latihan Kerja (BLK) di Lhokseumawe, kata pejabat setempat. Dari 297 orang, ada 181 orang yang berjenis kelamin perempuan, 102 lelaki, sementara ada 14 anak-anak.
Sebelumnya laporan resmi otoritas keamanan setempat menyebutkan kapal tersebut “mendarat di bibir pantai” dan orang-orang yang berada di atas kapal itu kemudian “berhamburan dan berlarian meninggalkan kapal.”
Kedatangan pengungsi Rohingya ini merupakan gelombang kedua dalam dua bulan terakhir di Aceh. Pada Juni lalu, sebanyak 94 pengungsi Rohingya telah terdampar di perairan Aceh Utara.
Di mana orang-orang Rohingya itu ditempatkan?
Pemerintah kota Lhokseumae mengatakan, 297 orang Rohingya itu sudah dipindahkan ke kantor Balai Latihan Kerja (BLK) di kota itu.
Mereka dipindahkan dengan menggunakan truk milik TNI.
Kepala Bagian Humas Kota Lhokseumawe, Marzuki, mengatakan untuk sementara mereka dipindahkan ke BLK dan “ditempatkan di dalam tenda-tenda dan aula” atas alasan kemanusiaan.
“Untuk selanjutnya baru akan dilakukan pendataan oleh UNHCR dan IOM,” kata Marzuki.
Namun demikian Marzuki menegaskan pengungsi 297 orang pengungsi Rohingya ini “tidak akan digabung” dengan pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh pada Juni lalu.
“Tak boleh bergabung, tak boleh bertemu, tak boleh berkomunikasi, karena kita khawatir diantara mereka ada hubungan family (keluarga), sampai kondisi normal,” kata Marzuki.
Marzuki menambahkan 297 orang pengungsi Rohingya itu akan melakukan rapid tes. “Utuk peralatannya sudah dipersiapkan oleh pemerintah Kota Lhokseumawe,” ungkapnya.