Jakarta – Afghanistan tengah membahas negosiasi perdamaian dengan Taliban di Doha, Qatar. Empat negosiator perempuan Afghanistan yang menghadapi perwakilan Taliban garis keras menjadi sorotan dalam negosiasi perdamaian ini.
Empat perempuan tersebut hadir bersama 17 laki-laki perwakilan pemerintahan Afghanistan. Mereka berhadapan dengan wakil Taliban yang seluruhnya adalah pria.
Kehadiran empat perempuan di meja perundingan ini dinilai sangat penting, mengingat budaya Afghanistan yang patriarki. Sistem ini menjadi norma kehidupan di Afghanistan.
“Taliban harus memahami bahwa mereka menghadapi Afghanistan baru, sehingga mereka harus belajar untuk hidup,” kata juru runding Fawzia Koofi kepada AFP.
Fawzia Koofi merupakan politisi dan aktivis hak-hak perempuan yang selamat dari dua upaya pembunuhan sepanjang kariernya. Terakhir, dia berhasil lolos dalam upaya pembunuhan di Kabul, bulan lalu.
“Jadi Anda benar-benar harus menemukan jalan Anda di antara orang-orang yang tidak percaya pada kehadiran seorang wanita,” kata Koofi.
Koofi juga adalah satu dari sedikit perempuan yang mengadakan pembicaraan tidak resmi dengan Taliban pada tahun 2019 lalu. Dia paham perlawanan yang dihadapi negosiator perempuan.
“Ini bukan hanya tentang apa yang Anda bicarakan. Orang-orang melihat apa yang Anda kenakan, apakah syal Anda berukuran tepat atau tidak,” kata Koofi.
Saat Taliban memerintah Afghanistan dari 1996 hingga 2001, suami Koofi dipenjara sedangkan dia diancam dirajam karena menggunakan cat cucu.
Waktu itu, polisi agama bakal mencambuk perempuan di jalan jika mereka tidak menggunakan burqa. Perempuan yang dituduh berzinah juga dieksekusi di stadion olahraga setelah salat Jumat.
Sistem itu perlahan membaik setelah invasi Amerika Serikat pada 2001 menggulingkan Taliban. Kini, perempuan dapat sekolah dan bekerja, serta menempati posisi tinggi meskipun jumlahnya masih sangat rendah.
Negosiator lain yang merupakan pakar hukum Islam dan Fatima Gailani (66) menyatakan para perempuan khawatir mengenai negosiasi dengan Taliban ini.
“Setiap wanita di Afghanistan memiliki ketakutan … kami selalu memiliki ketakutan bahwa setiap kali ada perubahan di Afghanistan dan setiap kali ada perubahan politik, selalu wanita yang terluka,” kata Gailani, yang merupakan juru bicara mujahidin melawan Soviet di 1980-an dan mantan presiden Palang Merah Afghanistan.
Menurut Gailani, pembicaraan perdamaian ini harus fokus pada nilai-nilai umum, seperti Islam dan pada pencapaian gencatan senjata dalam konflik Afghanistan. Konflik ini telah menewaskan puluhan ribu orang dan mengakibatkan jutaan orang terlantar sejak 2001 silam.
“Saya sangat ingin melihat Afghanistan yang tidak bahaya … Jika kita tidak mencapainya sekarang, itu tidak akan pernah terjadi,” kata Gailani.
Selama ini, Taliban dinilai tidak jelas tentang hak-hak perempuan dengan mengatakan akan dilindungi melalui nilai-nilai Islam.
Negosiator lain, Habiba Sarabi (62) ingin memastikan Afghanistan tetap menjadi republik dan bukan emirat yang dikelola Taliban, dengan hukum agama mengalahkan hak konstitusional. Sarabi sempat melarikan diri ke Pakistan agar dapat menuntut ilmu dengan tenang.
Saat kembali ke Afghanistan, Sarabi menjadi menjadi gubernur wanita pertama di negara itu dan dua kali menjabat sebagai menteri.
“Para pejuang di Afghanistan ini memiliki ideologi yang sama, mereka memiliki perilaku yang sama,” kata Sarabi
Perempuan lain dalam tim negosiasi adalah Sharifa Zurmati, mantan penyiar dan politikus lokal di provinsi timur Paktia.
Sebelumnya, anggota negosiator juga memiliki memiliki anggota perempuan lain, yaitu Shahla Fareed, seorang pengacara dan aktivis hak-hak perempuan. Namun, kini dia tidak masuk dalam delegasi Afghanistan.
Negosiasi perdamaian Afghanistan dan Taliban ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan komitmen Taliban untuk menarik pasukan asing mereka.
Negosiasi perdamaian ini sempat tertunda karena pertukaran tahanan yang kontroversial beberapa waktu lalu.