BLANGPIDIE – Permasalahan Aktual dan Faktual Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), semestinya berlangsung lima tahun sekali, ternyata itu tidak jadi, karena alasan ketiadaan penempatan anggaran Pilkada sekitar Rp 214 milyar, ini sangat aneh, gagal nalar dan tidak logis sama sekali.
Pernyataan tersebut diatas disampaikan oleh Pengamat Politik Aceh Dr. Taufiq A. Rahim pada awak media melalui telepon seluler, Sabtu (03/04/2021).
Ia menambahkan, jika dipahami dan dicermati bahwa Anggaran Pendapata dan Belanja Aceh itu lebih Rp 17 Triliun, ternyata untuk memenuhi anggaran Pilkada tidak mampu disediakan oleh Pemerintah Aceh, yang semestinya patuh serta konsisten melaksanakan UUPA dalam mengurus serta mengelola Aceh serta seluruh dimensi kehidupan rakyat Aceh, termasuk komitmen serta memiliki keinginan politik yang kuat terhadap pelaksanaan Pilkada Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangannya lima tahun sekali. Jika Pilkada yang lalu dilaksanakan 2017, maka Pilkada kedepan semestinya harus dilakukan pada 2022 mendatang.
“Seringkali kita disuguhkan retorika, bahwa selalu tunduk dan patuh dengan aturan perundang-undangan yang berlaku oleh para pejabat Aceh, elit politik Aceh dan para pemangku kekuasaan politwik, Birokrasi dan para Pejabat di Aceh. Namun demikian, perilaku tidak pantas berlaku saat ketentuan di Aceh dibenturkan dengan peraturan Pemerintah Pusat. menjadi “keok”, konyol tidak berdaya bahkan ketakutan kehilangan jabatan, juga terutama pejabat eksekutif dan legislatif (Guberbur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/DPRA) menjadi kehilangan nyali dan ketakutan sendiri. Jadi “omong kosong” jika retorikanya selama ini sesuai dengan aturan serta hati nurani keinginan politik rakyat,” ungkap Taufiq A. Rahim.
Demikian juga, sambungnya. Jika ditilik APBA bahwa hampir 65-70% digunakan untuk belanja pegawai sekitar 830 miliyar diluar Dana Otonomi Khusus (Otsus). Karena itu APBA ditambah Otsus, UUPA sebagai turunan Memorandum of Understanding (Perjanjian Damai) Aceh, dimana ini berlaku akibat darah dan nyawa rakyat Aceh dikorbankan saat Konflik.
Kayanya lagi. Hari ini untuk sebuah keinginan patuh kepada UUPA saja para Pejabat, Elite dan Pemerintah Aceh tidak mampu melakukannya. Hanya saja menikmati fasilitas dan pengorbanan rakyat untuk bersenang-senang serta memperkaya diri bersama kelompoknya serta partai politiknya, saat-saat tertentu saja memerlukan rakyat, bahkan tanpa sungkan, malu serta “segan-silu” mengharapkan rakyat memilihnya, jika perlu dengan cara “money politics/politik uang” agar dipilih, namun setelah menjabat semua keinginan rakyat dan undang-undang dibaikan sama sekali.
“Ini aneh, sehingga mesti menjadi catatan dan ingatan rakyat Aceh, bahwa pejabat dan elite Aceh saat ini adalah kumpulan para “penipu dan pembohong” yang hanya berfikir untuk dirinya sendiri, kelompok dan partainya saja. Ingat bahwa, kebijakan politik anggaran publik APBA lebih Rp 17 triliun, tetapi untuk anggaran Pilkada Rp 214 milyar tidak mampu diwujudkan dan dipenuhi, sebagai konsekwensi menghargai keinginan politik rakyat 5 tahun sekali,” pungkas Taufiq A. Rahim.
Reporter: Rusman