Oleh: Sulthan Alpha Ch/Kelas Vlll-5 SMPN6 Banda Aceh
They Were Made Of Gold. Mungkin, aku adalah seorang manusia biasa yang tidak memiliki kesuksesan ataupun bergelimang harta apapun. Tetapi, aku memiliki sebuah kebahagiaan yang jauh lebih berharga dibandingkan kekayaan harta. Bagaimana tidak, banyak canda tawa dan juga momen lainnya yang bahkan bisa dibilang jauh lebih berharga daripada menjadi seorang yang kaya .
Hidup sederhana asalkan bahagia pun tidak masalah bagiku atau siapa saja, mereka yang memiliki kekayaan akan harta belum tentu pula bisa hidup bahagia seperti yang aku rasakan saat ini. Mereka yang hidup bergelimang harta akan merasa tidak puas dan terus menginginkan lebih, disitulah kelemahan mereka dibanding kita.
Kekayaan di duniawi belum tentu akan ikut serta saat kita tiada, kekayaan juga bisa dibilang sebagai kelemahan kita yang paling fatal sebagai seorang manusia. Semakin banyak harta yang kita miliki, maka semakin terbutakannya kita terhadap dunia ini.
Sementara itu, kita yang hidup bahagia bisa saja jauh lebih unggul daripada mereka. Memang kita hidup berkecukupan, tetapi sebuah kebahagiaan yang kita miliki belum tentu bisa dibeli oleh miliaran keping emas. bagaimana tidak, seorang yang kaya raya belum tentu bisa bahagia walaupun hidup bergelimang harta.
Sementara kita yang hidup berkecukupan, bisa mendapatkan kebahagiaan karena belajar hidup untuk tidak serakah.
“Kenapa mereka yang miskin hidup bahagia, sementara kita yang hidup kaya tidak? Kenapa mereka yang ayahnya hanya seorang petani bisa hidup sejahtera, sementara kita yang merupakan anak dari keluarga bangsawan tidak?” Hal itu pasti muncul di dalam benak pikiran kita masing-masing, kita pasti sangat bingung terhadap fakta itu.
Tetapi, fakta itu sudah terjawab. Mereka yang miskin, bisa hidup bahagia karena mereka tidak terlalaikan oleh harta. Sementara kita yang hidup kaya, terus dilalaikan oleh harta.
Mereka yang ayahnya adalah seorang petani, bisa hidup sejahtera karena peduli terhadap keluarganya. Sementara mereka yang merupakan anak bangsawan, memiliki keluarga yang lebih peduli kepada harta dibanding anaknya.
Memang hal itu tidak terjadi oleh semua keluarga, ada beberapa juga keluarga yang kaya namun peduli terhadap keluarganya.
Saat aku masih kecil, ayahku pernah menasehatiku tentang kehidupan. “Nak, saat kau besar nanti. Kamu ingin menjadi apa?” tanya ayah kepada diriku. Karena saat itu aku masih kecil, aku memberikan jawaban berupa “Saat aku udah besar nanti, aku ingin menjadi orang paling kaya seluruh dunia.
Aku bisa beli semua aku mau, aku mau membeli rumah yang besar, terus ada banyak mobil balap didalamnya, dan mau beli roket supaya aku bisa ajak ayah dan ibu pergi ke luar angkasa.” Mendengar jawaban aku pada saat itu, ayahku tertawa kecil mendengar ucapanku itu.
Kemudian, ayahku menasehatiku dengan lembut. “Ayah sangat senang kamu memiliki impian seperti itu, tapi ayah kurang yakin kamu bisa mencapainya.” Ucap ayahku sambil mengelus halus kepalaku. Karena aku masih kecil saat itu, aku kembali memberikan jawaban yang membuat ayahku tersenyum lucu terhadap jawabanku. “Tenang aja yah, pas aku besar nanti pasti akan kaya” ucapku dengan polosnya. Kemudian, ayahku menasehatiku dengan bijak.
“Nak, kalau itu memang impianmu ayah tidak akan melarangnya. Tetapi, ayah ingin kamu jangan terlalu dibutakan oleh kekayaanmu sendiri. Gunakanlah kekayaanmu untuk sebuah tujuan yang mulia, dan jangan habiskan banyak uangmu hanya untuk memuaskan keinginanmu sendiri.” Ucap ayahku yang membuat aku sedikit mengubah pandanganku terhadap kekayaan pada saat itu.
Hal yang sama juga kudapatkan dari guru saat aku masih menginjak bangku sekolah, seperti biasa guruku bertanya cita-cita saat kami sudah besar nantinya. Temanku yang lain menjawab bahwa mereka ingin kaya, sementara aku menjawabnya dengan berkata bahwa aku ingin menjadi apa saja asalkan tetap bahagia. Guruku yang mendengarnya langsung tersentuh, dan menasehati kami semua.
Lalu, guruku memberikan kami sebuah kutipan yang sangat berharga yaitu “No matter how poor are you, as you can be happy that is enough” Saat aku menginjak masa remaja, ibuku mengajakku ke tempat perjudian. Ibu mengajakku bukan untuk berjudi, tetapi melihat kegiatan mereka disana. Saat sampai disana, ibuku hanya memesan minuman dan menyuruhku untuk memerhatikan mereka yang sedang berjudi.
Ibuku berkata “Lihatlah mereka yang sedang bermain, mereka kelihatannya sangat tegang dan juga berkeringat kan? Mereka yang kalah taruhan, akan mengalami kerugian yang besar.
Sementara mereka yang menang, akan langsung kaya dan senang terhadap hal itu.” Ucap ibuku sambil memandangi para penjudi yang sedang bermain.
Tepat pada saat itu juga, ada seorang dari mereka yang kalah dan langsung marah terhadap hal itu. Dia langsung menghajar yang menang berjudi dengannya, keduanya pun saling baku hantam yang sangat sengit. Masalah tidak sampai disitu saja, salah satu dari mereka membawa pisau lipat untuk membela dirinya.
Akhirnya, tempat itu sudah menjadi arena perkelahian yang hebat. Banyak tempat sekitarnya banyak yang rusak karena ulah mereka, banyak pengunjung yang langsung kabur tetapi tidak dengan ibuku dan aku. Penjaga keamanan turun tangan untuk melerai mereka, namun tetap saja para penjaga itu dihajar hingga babak belur juga. Ibuku memintaku untuk tetap tenang mengamati perkelahian mereka.
Akhirnya pertarungan itu pun berakhir, kejadian itu menimbulkan 1 orang tewas dan yang lainnya terluka parah.
Alhasil, para polisi segera datang dan mengamankan area. Aku dan ibuku diminta pergi ke kantor polisi untuk memberi kesaksian terhadap insiden itu. Ibuku memberitahu semua detail yang ibuku lihat saat perkelahian itu terjadi, setelah cukup menginterogasi ibuku polisi langsung melepaskan kami. Saat keluar dari kantor polisi, ibuku tidak merasa panik sama dan tetap tenang walaupun habis diinterogasi. Aku saja yang tidak diinterogasi, merasakan panik hingga gemetaran luar biasa.
Ibuku yang melihat kondisi aku saat ini hanya bisa tertawa kecil, lalu ibuku memberikan nasihat kepadaku agar jangan terlalu panik ketika kondisi ini. Lalu, aku mendengar nasihatnya dan berusaha tenang untuk lain kali. Ibuku bertanya “Kira-kira, apa saja yang kamu dapatkan saat melihat kejadian tadi?” tanyanya kepadaku.
Lalu aku menceritakan segala yang aku ketahui saat itu, ibuku menyimaknya sambil tersenyum. Setelah aku ceritakan cukup, lalu aku bertanya kepadanya “Memang kenapa ibu mengajakku hanya untuk menyaksikan perkelahian itu saja?” tanyaku dengan sangat penasaran.
Ibuku menjawab “Jangan fokus terhadap mereka yang berkelahi, fokuslah kepada keadaan sekitar saat itu.” Jawab ibuku yang membuatku kembali bertanya-tanya, ibuku hanya bisa tersenyum mengetahui aku sangat kebingungan. Lalu ibuku menjelaskannya, “Lihatlah mereka yang berkelahi, mereka tidak mempedulikan lingkungan sekitar.
Mereka hanya fokus berkelahi, sampai melupakan kalau itu adalah tempat umum. Begitu juga dengan kehidupanmu nanti, jika kau adalah seorang yang kaya. Kau akan lupa terhadap lingkungan sekitarmu, kau hanya dilalaikan oleh kekayaanmu sendiri.
Jangan sebuah kekayaanmu sampai membuatmu lupa akan kehidupanmu sebagai seorang manusia, yang nantinya juga akan mati.” Jawab ibuku dengan bijak, aku hanya bisa menyimaknya dengan hati yang tenang.
Perkataan dari kedua orangtuaku dan guruku ada benarnya pada masa sekarang, kini aku memahami apa itu nikmat hidup yang sesungguhnya. mulai saat itu aku mulai paham bahwa sebuah kekayaan hidup sebenarnya bukanlah memiliki barang yang mewah, melainkan sebuah kebahagiaan yang belum tentu semua orang bisa merasakannya.
Mereka yang hidup bahagia walaupun memiliki harta yang kurang adalah sesosok emas yang tak ternilai harganya bagiku, mereka dapat merasakan kebahagiaan disaat mereka yang memiliki harta tidak bisa merasakannya. Aku sendiri sangatlah iri kepada mereka, tetapi aku akan tetap berusaha untuk menjadi diriku sendiri sebagaimana mestinya.
Dan aku akan berusaha semampu mungkin untuk meneladani sifat mereka disaat nantinya aku akan mengalami hal yang sama seperti mereka, karena nantinya aku akan mengetahui apa itu sebenarnya kekayaan hidup.