Jakarta – Penandatanganan MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia telah memasuki tahun ke-16. Sebagai sebuah perjalanan sejarah yang penting bagi Aceh, Lembaga Riset Politik Indonesia (Rispol) menggelar webinar bertema: “Refleksi 16 Tahun Perdamaian Aceh: 15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2021”.
Kegiatan ini dipusatkan di Gedung DPR RI dan diikuti secara daring dan luring oleh sekitar 300-an peserta dari dalam dan luar negeri. Webinar digelar Selasa, 31 Agustus 2021, mulai pukul 19.00 hingga 11.30 WIB.
Hadir sebagai keynote speaker, Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil. Acara dibuka oleh Gubernur Aceh, yang diwakili oleh Kepala Dinas Sosial Aceh, Yusrizal.
Sebagai narasumber, hadir Sekjen DPR RI Indra Iskandar, Dirjen Bina Adwil Safrizal, Prof. Ramasamy, Ketua Forbes DPD-DPR RI asal Aceh Nasir Djamil, Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi, Gubernur Aceh periode 2000-2004, yang juga Wakil Ketua Komite II DPD RI Abdullah Puteh, Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014 Ahmad Farhan Hamid, Rektor Unsyiah Prof Samsul Rizal, Ketua DPR Aceh H. Dahlan Jamaluddin, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (PB. HUDA) Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab, Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012 Muhammad Nazar, aktivis kemanusian dan Founder FF De Facto Feri Kusuma, Presidium Balai Syura Urueng Inong Aceh Surraya Kamaruzzaman, aktivis perempuan Aceh Cut Asmaul Husna dan pemerhati perdamaian Syufaini Usman.
Direktur Eksekutif Riset Politik Indonesia, Munawar Khalil mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan refleksi 16 tahun perjalanan sejarah Aceh, yang dimulai dari MoU Helsinki.
“Bagaimanapun juga, harus kita terima kenyataan sejarah bahwa MoU Helsinki ini telah membawa perubahan bagi Aceh. Karena itu, setelah 16 tahun ini kita berusaha untuk tidak saja merefleksi MoU, tapi lebih dari itu, kita berusaha untuk merefleksi Aceh dalam kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan rakyat Aceh,” kata Munawar.
Karena itu, melalui refleksi 16 tahun MoU Helsinki ini, kata Munawar, tema spesifik yang diangkat adalah: Siapa Mendapat Apa, Kapan dan Bagaimana? Menurutnya, ini adalah pertanyaan mendasar untuk mengetahui dan memahami bagaimana Aceh dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil, yang juga dalam penyampaian materinya mengatakan, “Jika ada pertanyaan, apa yang sudah didapatkan dari MoU Helsinki, maka saya akan mengatakan bahwa keamanan dan perdamaian sudah didapatkan. Semua orang sudah bisa ikut berpartisipasi dalam proses politik. Secara ekonomi, semua masyarakat bisa berusaha dengan tenang.”
Disampaikan oleh Sofyan A. Djalil, yang juga menjadi salah satu utusan pemerintah RI pada saat MoU Helsinki, otonomi khusus yang sudah didapatkan oleh Aceh, dari segi angka absolut cukup besar. Namun, bagaimana manfaat dana otsus bagi masyarakat, masih menjadi persoalan yang diperdebatkan. Karena itu, dalam refleksi ini Sofyan mengingatkan bahwa yang membuat suatu bangsa, daerah atau wilayah itu maju, bukan hanya Sumber Daya Alam tapi kebijakan yang baik.
“Dari berbagai referensi saya mendapatkan keyakinan, bahwa yang menentukan maju tidaknya suatu wilayah sangat tergantung kepada faktor kepemimpinan. Leadership. Inilah yang harus kita renungkan,” katanya. Karena, diingatkan oleh Sofyan A. Djalil, banyak negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi justru mengalami keterpurukan. Karena dana yang banyak, yang tidak memberikan manfaat yang optimum, justru bisa memicu kemunduran.
Sekjen DPR RI Indra Iskandar, yang juga salah satu tokoh Aceh mengatakan bahwa Aceh memiliki sejarah yang panjang, yang menunjukkan adanya kejayaan dan semangat perjuangan yang tinggi. Realitas historis ini, semestinya bisa membuat Aceh lebih baik dari daerah lain. Karena itu, Indra Iskandar menekankan bahwa prasyarat pembangunan daerah seharusnya bisa dipenuhi, yaitu: kualitas SDM, ketersediaan SDA dan Lingkungan sosial yang mendukung.
Karena itu, dalam refleksi ini Indra Iskandar mendorong agar perbaikan Aceh diprioritaskan pada perluasan akses masyarakat miskin ke dunia pendidikan, perbaikan sarana pendidikan, perlindungan sosial dan perluasan kesempatan berusaha.
Prof. Ramasamy yang pernah menjadi penasehat GAM pada saat MoU Helsinki dirancang, menyatakan bahwa MoU Helsinki adalah kesepakatan yang unik antara RI dan GAM yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia. Karena itu, MoU Helsinki perlu diterjemahkan dalam pelaksanaan.
Dalam kaitan ini, Tgk H. Muhammad Yusuf A. Wahab menyatakan bahwa suatu kebijakan akan bisa terlaksana dengan ideal jika para pengambil keputusan politik adalah orang yang sudah selesai dengan diri dan kelompoknya. Namun, menurut Tgk H. Muhammad Yusuf, kebijakan yang ideal itu masih banyak predatornya, yaitu mereka yang mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok.
“Tak hanya di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, di tingkat kepala desa juga bermasalah, terutama dalam memilih orang yang memiliki kapasitas untuk membuat keputusan-keputusan politik,” katanya.
Hal ini bisa diatasi melalui konsep Islam. “Yaitu, dengan menerapkan ajaran bagaimana mendapatkan rezeki secara halal. Tapi, masih banyak yang belum serius dalam pelaksanaan syariat Islam, masih banyak praktek menghalalkan segala cara. Karena itu, kembalilah kepada syariat dalam menghadapi setiap masalah,” tegasnya.
Ahmad Farhan Hamid dalam refleksinya menyatakan bahwa hakekat perdamaian di Aceh terlalu kecil kalau hanya dikaitkan dengan persoalan kemiskinan. Data kemiskinan, menurutnya, tidak diimbangi dengan kondisi sosial ekonomi yang lain. Harusnya juga dilihat berapa kenaikan jumlah sepeda motor, mobil mewah, rumah mewah di Aceh.
Dalam kesempatan itu, Farhan Hamid mengungkapkan bahwa bagaimanapun juga, MoU Helsinki dirintis pada masa Presiden Gus Dur dan dituntaskan oleh tim yang dipimpin Jusuf Kalla. Karena itu, perlu diucapkan terimakasih pada mereka. Karena melalui MoU, partai lokal terbentuk. Bahkan, pada awalnya cukup dominan, namun dalam pemilu-pemilu berikutnya terus mengalami penurunan.
Karena itu, sekarang ini perlu dikaji lagi, bagaimana respon masyarakat terhadap MoU Helsinki. “Kalau ketidakpuasan hanya disampaikan secara bisik-bisik, bisa memberikan persepsi yang salah,” katanya.
Rektor Unsyiah, Prof. Samsul Rizal dalam refleksinya mengingatkan bahwa apa yang terjadi pada Aceh memang masih kurang. Termasuk soal kemiskinan. “Untuk mengukur kemiskinan itu tidak hanya dari berapa pendapatannya. Tapi juga infrastruktur yang dimiliki, termasuk sarana seperti sanitasi, kebersihan dan lain-lain. Ini yang masih kurang, yang membuat angka kemiskinan di Aceh masih tinggi,” katanya.
Karena itu, Prof. Samsul Rizal mengingatkan bahwa kurangnya infrastruktur, terutama di bidang pendidikan, bisa menyebabkan terjadinya learning lost. “Ini yang harus kita waspadai. Situasi saat ini, bisa berkembang menjadi lost generation. Selain itu, angka stunting di Aceh juga masih tinggi, yaitu 39,7 %,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh aktivis perempuan Aceh, Soraya Kamaruzzaman. Diungkapkan bahwa yang paling utama setelah MoU Helsinki adalah perang berhenti. Hanya saja, masalah perempuan tak disinggung dalam MoU Helsinki, sehingga masalah ini dimasukkan ke dalam persoalan HAM. Dalam refleksinya, Soraya menyatakan bahwa saat ini keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di Aceh masih rendah.
“Indeks Pembangunan Manusia di Aceh tinggi, yaitu 71,95%. Tetapi, Indeks Pembangunan Gender masih rendah. Aceh berada di urutan nomor 27 dari 34 provinsi di Indonesia,” katanya. Selain itu, angka kekerasan terhadap anak di Aceh juga masih tinggi. Angka perkawinan anak juga masih tinggi. Ditambah lagi, masih ada kebijakan di tingkat bupati/walikota yang menciptakan ketidakadilan perempuan dan melanggar kebijakan yang lebih tinggi.
Senator Aceh, yang juga Ketua Komisi I DPD RI, Fachrul Razi menyatakan bahwa perdamaian Aceh harus dilihat dengan evaluatif-kritis. Dalam refleksinya, dia melihat bahwa pasca MoU Helsinki setidaknya terbentuk beberapa kelompok, yaitu mereka yang optimis, pesimis dan oportunis. Selain itu, dalam perkembangannya memunculkan pula kelompok yang realistis dan romantis. Karena itu, MoU Helsinki harus dilihat sebagai perjalanan sejarah yang harus dievalusi secara kritis pencapaian dan perwujudannya.
Mantan gubernur Aceh, Abdullah Puteh menegaskan bahwa saat ini semestinya prioritas pembangunan Aceh harus pada ekonomi, selain masalah syariat Islam. “Paling tidak, suatu daerah itu harus membuat road map pembangunan selama 25 tahun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh itu nomor 3 setelah APBD DKI dan APBD Papua. Jadi, APBA seharusnya diarahkan pada ekonomi,” katanya.
Selain itu, para pengambil keputusan dan stake holder di Aceh sering melakukan sharing ide terutama terhadap prioritas pembangunan. “Karena yang paling berpengaruh dalam memajukan daerah itu, pertama adalah leadership. Setelah itu Anggaran dan kemudian sumber daya alam,” katanya.
Ketua DPR Aceh, Dahlan Jamaluddin dalam refleksinya atas 16 tahun MoU Helsinki melihat bahwa saat ini, tampaknya situasi sudah sampai di persimpangan jalan. Ini karena sudah tidak adanya kemampuan yang cukup untuk merawat harapan rakyat akan keberlangsungan perdamaian. Dia menyatakan bahwa tidak semua butir MoU Helsinki diimplementasikan. Karena itu, untuk dia mengajak semua pihak untuk melihat bahwa MoU Helsinki adalah untuk kepentingan bersama, karena menjadi kewajiban bersama untuk melakukan penguatan agar butir-butir MoU terlaksana.
Aktivis kemanusiaan Fery Kesuma menegaskan bahwa refleksi perdamaian adalah modal penting. Karena itu, jangan dirusak dengan membuat narasi yang destruktif. Seluruh potensi, harusny melakukan upaya terpadu untuk menjawab masalah kemiskinan. Disamping itu, harus pula ada rumusan politik hukum terkait syariat Islam, dan yang juga penting adalah mulai diurus masalah-masalah terkait pertanahan di Aceh agar tidak menjadi persoalan di kemudian hari.
Aktivis perempuan Aceh, Cut Asmaul Husna melihat bahwa MoU Helsinki merupakan jembatan untuk mewujudkan perdamaian yang bermartabat bagi semua pihak. Karena itu, harus dilakukan langkah-langkah untuk menjadikan MoU ini sebagai dorongan bagi kemajuan Aceh. Sementara, mantan Wagub Aceh Muhammad Nazar menyatakan bahwa konflik dan damai sama-sama bisa dimanfaatkan oleh siapapun.
“Tugas kita sekarang adalah memanfaatkan perdamaian untuk kepentingan masyarakat,” katanya. []