Banda Aceh – Panitia Khusus (Pansus) DPR Aceh (DPRA) mengusulkan Qanun Lembaga Wali Nanggroe untuk direvisi ketiga kalinya. Salah satu poin yang diminta revisi adalah jabatan Wali Nanggroe tak dibatasi dua periode.
Juru Bicara Pansus Lembaga Wali Nanggroe Saiful Bahri mengatakan, tim Pansus dibentuk berdasarkan keputusan DPR Aceh Nomor 5/DPRA/2021 dan keputusan pimpinan DPR Aceh nomor 14/P-II/DPRA/2021. Setelah adanya payung hukum, Pansus melakukan silaturahmi dengan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haythar.
Selain itu, Pansus juga menerima masukan secara lisan dan tulisan terhadap rencana Perubahan Ketiga Atas Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Ada beberapa poin dalam qanun yang diusulkan direvisi.
“Hendaknya dalam Rancangan Qanun Wali Nanggroe periodesasi jabatan Wali Nanggroe tidak dibatasi dalam dua periode jabatan, karena jabatan ini tidak mewakili jabatan di pemerintahan dan atau mempunyai kewenangan keuangan/anggaran dan atau kewenangan eksekutorial, serta tidak termasuk dalam lingkup tugas eksekutif, legislatif dan yudikatif,” kata Saiful, Jumat (3/9/2021).
“Kedudukannya yang mulia dan individual serta independen sehingga tidak mudah mencari figur yang tepat dan dapat dihormati semua pihak baik di tingkat Aceh, tingkat nasional maupun internasional,” lanjutnya.
Saiful menjelaskan, lembaga Wali Nanggroe dibentuk melalui Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 dan telah mengalami dua kali perubahan. Saat ini, qanun kembali menjadi usul prakarsa anggota DPRA untuk direvisi kali ketiga.
Legalitas Lembaga Wali Nangroe diatur secara khusus dalam BAB XII dalam Pasal 96 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006. Dalam pasal itu disebutkan, lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Dalam Undang-undang tersebut, kata Saiful, ditegaskan bahwa Lembaga Wali Nanggroe bukan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen.
“Kehadiran lembaga ini diharapkan oleh banyak komponen rakyat Aceh, dapat mewakili sejarah peradaban dan kejayaan Aceh masa silam, sekaligus dalam konteks negara Republik Indonesia dapat menjadi pemimpin rakyat Aceh yang terlepas dari struktur pemerintahan, namun dapat mewakili kehormatan, marwah serta martabat rakyat Aceh,” jelas politikus Partai Aceh ini.
Masalah lain yang diusulkan dalam revisi, kata Saiful, yakni adanya penegasan untuk bendera dan lambang wali nanggroe. Kedua hal itu disebut perlu agar lembaga wali nanggroe dikenal sebagai ciri khusus dan istimewa oleh rakyat Aceh, nasional serta dunia dalam kedudukannya sebagai representasi masyarakat Aceh yang personal dan independen.
Dia menyebut, usulan perubahan itu dilakukan untuk memberi kewenangan yang cukup kepada lembaga wali nanggroe melalui peran wali nanggroe. Selain itu, lembaga wali nanggroe diharapkan memiliki kedudukan yang terhormat dan memberi solusi atas permasalahan yang dialami rakyat Aceh.
“Memberi kemampuan sumber daya yang cukup untuk semua ruang lingkup kegiatannya, agar berdaya guna dan berhasil guna. Memberi kewenangan koordinasi dan konsultasi antar Kelembagaan Khusus dan Istimewa yang telah dimiliki oleh Aceh,” sebutnya.
“Selanjutnya yaitu memberi kedudukan kepada Wali Nanggroe sebagai pembina untuk semua kekuatan politik dan kemasyarakatan yang ada di Aceh,” bebernya.