Oleh Muhammad bin Tarmizi. Penulis adalah warga Aceh yang sedang menempuh Pendidikan di Brunai Darussalam.
Semua sepakat jika santri adalah orang-orang pilihan. Namun dalam beberapa dekade terakhir, kiprah santri dan ulama seringkali ‘dikurung’ dalam pondok. Santri diminta hanya berbicara soal akhirat. Meninggalkan dunia dan politik untuk orang bejat.
Kiprah santri dan kaum dayah dalam meraih kemerdekaan Indonesia sebenarnya bukanlah kisah baru. Bicara jauh ke belakang, ada peran ulama ulama besar Aceh sebagai mufthi istana yang menjadi tokoh sentral di belakang raja-raja Aceh.
Hal ini pula yang menyebabkan Belanda dan Inggris tak bisa menaklukan Aceh seperti daerah daerah jajaran lainnya di nusantra. Meski memiliki armada perang dan perlengkapan tempur yang cukup canggih.
Keadaan ini membuat para petinggi di Belanda pusing tujuh keliling. Fanatik dan semangat jihad yang dikobarkan tentara Aceh mematahkan meriah canggih milik mereka pada saat itu. Hasil rembuk, jalan satu-satunya adalah dengan menghancurkan Aceh dari dalam. Hal ini pula yang membuat Christiaa Snouck Hurgronje berangkat ke Mekkah dan belajar Islam di sana selama hampir setahun.
Dari berbagai sumber disebutkan, sebagai penasehat J.B. van Heutsz, Snouck mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang Aceh (1873-1913). Ia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh dan memberlakukan kekuasaan kolonial Belanda pada mereka, mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar 50.000 dan 100.000 penduduk tewas dan sekitar satu juta terluka.
Salah satu taktik Snouck atau di Aceh dikenal dengan sebutan ‘Teungku Puteh’, adalah bagaimana memisahkan antara dayah dengan politik di Aceh.
Ini didasari karena rata-rata prajurit Aceh pada saat itu adalah alumnus dayah yang siap mengobarkan semangat jihad melawan Belanda.
Demikian juga dengan panglima-panglima perang Aceh pada saat itu. Mereka rata-rata adalah mantan santri di sejumlah dayah salafi ternama di Aceh.
Untuk memutuskan fanatic pasukan Aceh, ia mulai bergerilya dari satu daerah ke daerah lainnya. Mengadu domba para raja raja kecil di Aceh dan mengembangkan pemahaman bahwa, ‘politik itu kotor dan tak cocok bagi kaum dayah.”
“Orang-orang dayah harus focus memikirkan akhirat.”
Narasi yang dibangun ini ternyata cukup melekat dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat Aceh kala itu. Saat kaum dayah menarik diri dari kekuasaan saat itu, maka secara pelan kerajaan Aceh mulai keropos dan Belanda mampu menguasai satu persatu daerah.
Lantas apa hubungannya antara Snouck dengan kekinian di Aceh? Ternyata pemahaman Snouck melekat begitu lama di Aceh. Ulama dan santri mulai alergi dengan politik. Imbas dari pemahaman ini adalah kekuasaan di Aceh, mulai dikuasai oleh mereka-mereka yang pinter secara akademik tapi minim pengetahuan agama.
Hal ini pula yang akhirnya membuat dayah tersisihkan dari segi perhatian. Hak-hak rakyat dikebiri oleh mereka yang tak mengenal halal dan haram.
Dayah, jika mau diakui, seringkali menjadi batu loncatan bagi para politisi di Aceh dalam meraih kursi di parlemen. Namun kemudian ditinggalkan saat terpilih.
Parahnya lagi, sejumlah santri yang coba terjun ke politik di Aceh, baik untuk eksekutif maupun legislative, gagal meraih kursi karena tak mendapat dukungan dari kaum dayah itu sendiri. Alasannya berbagai macam.
“Politik itu busuk. Orang dayah tak cocok di politik.”
Asumsi ini berkembang pesat di Aceh. Contoh kasus seperti ini terjadi di Bireuen pada pilkada 2017 lalu.
Padahal, jika mau diakui, semua kebijakan yang diatur dalam masyarakat diputuskan dalam satu kebijakan politik.
Tusop dan Syeckh Fadhil
Dua ikon dayah yang menarik perhatian penulis belakangan ini adalah Tusop dan Fadhil Rahmi Lc. Tusop selaku pimpinan dayah di Bireuen berani terjun ke politik untuk mematahkan asumsi dan narasi yang sempat ditinggalkan oleh Snouck di tengah-tengah masyarakat Aceh yang kini krisis rasa percaya terhadap para pemimpin di Aceh.
Tusop mengawali politik kaum santri di Aceh. Ia menjadi motor penggerak agar santri kembali berkiprah di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Terbukti, kemunculan Tusop kini menjadi harapan baru bagi perpolitikan di Aceh. Gerakannya mampu membuat para politisi lainnya ketar ketir meskipun Tusop kemudian tumbang di Bireuen karena 100 ribu.
Namun bagi penulis, Langkah yang dilakukan Tusop adalah awal dari bangkitnya kesadaran kaum dayah di Aceh bahwa politik dan dayah tak bisa dipisahkan sama sekali.
Sosok kedua yang menurut penulis adalah ikon dayah di Aceh dan Fadhil Rahmi Lc. Sosok alumni timur tengah ini menjadi sorotan karena geraknya dari dayah ke dayah pasca terpilih sebagai senator Aceh. Ia turun ke pedalaman pedalaman untuk menjemput satu persatu anak-anak miskin di Aceh untuk melanjutkan Pendidikan di dayah-dayah Aceh.
Ia melakukan hal-hal yang kecil yang selama ini dianggap remeh oleh para politisi lainnya. Namun kebijakan kecil inilah yang sesungguhnya menjadi penentu masa depan Aceh nantinya.
Dua ikon ini membuat public di Aceh berpikir ulang bahwa politik tak selamanya kotor. Politik justru akan kotor Ketika tak diisi oleh orang baik-baik.
Kaum santri harusnya memiliki modal besar dalam mengarahkan Aceh ke fase yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun saat ini justru hancur lebur karena kaum dayah terlalu lama berdiam diri di pondok serta meninggalkan panggung politik.
Penulis menaruh harapan banyak dari kiprah dua ikon dayah di Aceh ini. Minimal mampu mengubah wajah Aceh di kancah nasional.
“Saat Otsus banyak tapi Aceh termiskin di Sumatera. Korupsi merajalela tapi daerah melandaskan syariat Islam.”
Semoga wajah Aceh kedepan lebih baik.