JAKARTA–Dalam kunjungannya ke bumi Serambi Makkah kali ini, Ustadz Abdul Somad atau yang lebih dikenal UAS meluangkan waktu bertemu dan silaturahim dengan para aktivis dakwah di Aceh.
Kegiatan yang digagas oleh Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh dengan tema “Sinergi dan Strategi untuk Kesatuan Visi Dakwah di Negeri Syariah” itu berlangsung di Hotel Hanifi, Banda Aceh, Sabtu malam (25/12).
Kegiatan tersebut sebagai bentuk ikhtiar untuk pemetaan wajah dakwah di Aceh dan strategi bagi para pendakwah dalam memperkuat penerapan syariat Islam di Tanah Rencong.
Dalam kesempatan itu, para aktivis dakwah yang berasal latar belakang organisasi berbeda mengungkapkan beberapa tantangan yang mereka hadapi dalam menjalankan dakwah, seperti permasalahan akidah umat di wilayah perbatasan.
Kemudian, anak muda yang berada di bawah pengaruh negatif media sosial, kuantitas dai perempuan yang lebih relevan untuk mengajar ke jamaah wanita dan pengusaha dan pelaku ekonomi yang perlu dipersatukan agar dakwah lebih kuat.
Terkait hal tersebut, UAS menyampaikan solusi untuk memperkuat pengiriman da’i ke wilayah perbatasan. Di antaranya, menemukan penarik minat anak muda agar lebih condong ke dakwah.
Kemudian, menambah daiyah lebih banyak dan mensinergikan pelaku bisnis dan ekonomi agar punya visi yang sama dalam dakwah .
Kemudian juga tantangan terkait persoalan sumber daya manusia, sebagaimana dikemukakan oleh perwakilan MPU Aceh Muhibuttabary, NU Aceh Lem Faisal, dan Huda Tu Sop bahwa sangat sedikit pendakwah yang punya kemauan kuat untuk berdakwah di perbatasan, atas kekhawatiran keselamatan dan kenyamanan.
Begitu juga persoalan regulasi administrasi untuk program pendakwah ke perbatasan.
Dalam hal ini, UAS dan pembicara lainnya menyarankan agar regulasi lebih pro terhadap program da’i perbatasan. Memberikan peningkatan kesejahteraan kepada pendakwah di perbatasan. Kurikulum dan silabus holistik untuk dakwah pun dianggap urgen.
Selain itu tantangan yang dibahas pada pertemuan tersebut adalah adanya gap antara pembuat kebijakan dan masyarakat di lapangan. Kemudian persoalan yang disorot lebih dominan ibadah padahal yang dibutuhkan adalah persoalan selain itu.
Seluruh pembicara menekankan bahwa dakwah mesti lebih variatif dan komprehensif. Pembuatan kurikulum dakwah yang lebih holistik, bahkan dimasukkan pendidikan skill yang siap digunakan untuk profesi, sebagaimana disarankan oleh Muharrir Asy’ari.
Selain itu problematika lainnya adalah masih ada pendakwah yang masih mendakwahi orang yang sudah terdakwah secara kuat, lebih lagi, sering menyalahkan dan saling mengkafirkan hingga memecah belah ummat.
Terkait hal tersebut, UAS dengan tegas menyampaikan agar tidak berlebihan dalam ekspektasi pada satu institusi yang secara manusiawi tidak mampu menyelesaikan seluruh permasalahan.
“Menyesuaikan dengan kearifan lokal juga diperlukan,” kata UAS.
Terkait munculnya paradigma negatif dan pemahasan yang bertentangan dengan Islam dan menghalangi dakwah, seperti materialism dan permisivisme.
UAS menyarankan untuk memperbaiki visi dan kesadaran pendidik akan beban dan tugas utamanya sebagai seorang pendidik. Begitu juga diskriminasi terhadap institusi pendidikan wajib dihilangkan.
Menurut UAS, umat Islam saat ini bukanlah umat yang merencanakan untuk dirinya sendiri. Justru, menjadi umat yang direncanakan oleh orang lain. Berakar pada kegagalan dakwah dalam umat sendiri.
UAS menyampaikan, keberhasilan dakwah bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan, kuatnya pemerintahan, kedermawanan orang kaya, dan do’anya orang-orang fakir. Mensyariatkan dunia pendidikan sebelum aspek lainnya.
Selain itu, katanya, integritas antara aktivis dakwah dan pembuat kebijakan sangat minim, sehingga kadang-kadang solidaritas yang lemah ini berefek pada dakwah
“Menanamkan ghirah yang kuat pada para penda’i sebagaimana para peneliti ilmu yang benar-benar serius dalam melakukan tugasnya,” tutur UAS.
Selain UAS, hadir juga sebagai narasumber antara lain Kadis Syariat Islam Aceh, unsur ulama seperti MPU, ormas seperti Muhammadiyah Aceh, Nahdhatul Ulama Aceh, Himpunan Ulama Dayah (HUDA).
Selanjutnya, Pengurus Besar Inshafuddin, Al-Washliyah, Perti, ICMI orwil Aceh, Forum Dakwah Perbatasan, Dewan Masjid Indonesia, dan lain-lain.
Ketua IKAT Aceh, Muhammad Fadhilah mengatakan, gagasan pertemuan itu berawal dari diskusi kecil di warung kopi, bagaimana mewujudkan sinergi dan menyatukan visi aktivis dakwah Aceh, meski berasal dari latar belakang yang berbeda.
“Sehingga IKAT Aceh menghadirkan tuan guru UAS untuk berdiskusi hal tersebut,” ujar Fadhilah.
Fadhilah juga menyampaikan bahwa kegiatan tersebut untuk mewujudkan silaturahim dan koordinasi tahunan unsur dakwah di provinsi paling barat Indonesia.
“Juga bertujuan untuk memfasilitasi kebutuhan dai di wilayah khusus dan memfasilitasi dan mewujudkan sarana dan prasarana dakwah,” kata Fadhilah.