Jakarta – Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok menyatakan mundur dari jabatannya pada Minggu, 2 Januari 2022. Ia mundur setelah enam pekan menduduki kembali jabatannya yang merupakan bagian kesepakatan dengan para pemimpin kudeta militer.
Hamdok mengatakan diskusi meja bundar diperlukan untuk menghasilkan kesepakatan baru dalam transisi politik Sudan. “Saya memutuskan untuk mengembalikan tanggung jawab dan mengumumkan pengunduran diri saya sebagai perdana menteri. Saya memberikan kesempatan kepada pria atau wanita lain dari negara yang mulia ini untuk melewati apa yang tersisa dari masa transisi ke negara demokrasi sipil,” kata Hamdok dalam pidato yang disiarkan televisi.
Pengumuman itu membuat masa depan politik Sudan kian berada dalam ketidakpastian. Tiga tahun lalu, suhu politik di Sudan memanas setelah pemberontakan yang menyebabkan pemimpin lama Omar al-Bashir terguling dari jabatan.
Hamdok Berkuasa Kembali Setelah Digulingkan Militer
Abdalla Hamdok adalah seorang ekonom dan mantan pejabat PBB. Ia dihormati secara luas oleh masyarakat internasional. Hamdok menjadi perdana menteri di bawah perjanjian pembagian kekuasaan antara militer dan warga sipil setelah penggulingan Bashir.
Pada 25 Oktober 2021, Hamdok digulingkan dari jabatannya melalui kudeta militer. Ia berada dalam tahanan rumah. Pada November, ia diangkat kembali menjadi perdana menteri Sudan.
Setelah berkuasa kembali, Hamdok dikecam oleh banyak orang di koalisi sipil yang sebelumnya mendukungnya. Di sisi lain, pengunjuk rasa terus mengadakan demonstrasi massa menentang kekuasaan militer.
Pada hari Minggu, Hamdok mengatakan dia telah mencoba membentuk konsensus antara faksi-faksi yang terpecah. Namun langkah itu sia-sia. Konsensus ditujukan untuk menyelesaikan proses perdamaian yang ditandatangani dengan beberapa kelompok pemberontak pada tahun 2020, dan persiapan pemilihan pada tahun 2023.
“Saya telah berusaha sejauh saya bisa menyelamatkan negara dari bahaya tergelincir ke dalam bencana,” kata Hamdok. “Meskipun semua yang dilakukan untuk mewujudkan kesepakatan yang diinginkan dan diperlukan untuk memenuhi janji kami kepada warga negara tentang keamanan, perdamaian, keadilan dan diakhirinya pertumpahan darah, ini tidak terjadi.”
Unjuk Rasa Menentang Militer Rusuh
Dalam unjuk rasa terbaru pada hari Minggu, beberapa jam sebelum pidato Hamdok, pasukan keamanan menembakkan gas air mata ke demonstran di Khartoum. Pengunjuk rasa berbaris menuju istana presiden.
Sedikitnya tiga orang tewas. Sejak protes terhadap kudeta militer, total korban tewas adalah 57 orang. Enam tewas dan ratusan terluka dalam demonstrasi nasional pada hari Kamis.
Militer telah mengatakan akan mengizinkan protes damai. Militer juga meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan.
Di antara reformasi ekonomi yang diawasi Hamdok adalah penghapusan subsidi bahan bakar yang mahal dan devaluasi mata uang yang tajam. Kebijakan itu memungkinkan Sudan memenuhi syarat untuk mendapatkan keringanan setidaknya US$ 56 miliar dari utang luar negeri. Selain itu krisis ekonomi yang berlangsung lama telah menunjukkan tanda-tanda mereda.
Namun kudeta militer membuat kesepakatan penghapusan utang diragukan. Dukungan ekonomi Barat yang luas untuk Sudan juga terancam dibekukan.
Saat kembali menjabat pada November lalu, Hamdok mengatakan ingin mempertahankan langkah-langkah ekonomi yang diambil oleh pemerintah transisi. Ia juga ingin menghentikan pertumpahan darah setelah meningkatnya jumlah korban dalam unjuk rasa menentang kudeta militer.