Jakarta – Penduduk desa menceritakan bagaimana mereka dan anggota keluarga ditangkap hingga disiksa di dalam atau di sekitar pabrik gas ExxonMobil di Provinsi Aceh, Indonesia.Hal itu tertuang dalam dokumen pengadilan yang diajukan dalam kasus John Doe V terhadap ExxonMobil Corporation.
“Dia dibawa oleh tentara,” kata salah satu dari 11 penggugat dalam kasus tersebut, dikutip dari asia.nikkei.com, Senin (3/1).
Salah satu penggugat bernama Jane mengatakan suaminya hilang pada Januari 2001. Kemudian, tangan sang suami dipotong dan bola matanya diambil.
Gugatan itu mulanya diajukan di Pengadilan Distrik untuk Distrik Columbia di AS pada Juni 2001. Penggugat menuduh ExxonMobil bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk pelecehan seksual hingga kematian tak wajar yang dilakukan oleh anggota militer Indonesia.
Dalam laporan gugatan tertulis bahwa ExxonMobil menyewa anggota militer untuk menjaga pabrik di Aceh pada 1990-an.
ExxonMobil mencoba untuk menolak klaim penggugat sebanyak sembilan kali. Hal itu membuat proses hukum berjalan lambat.
Saat ini, pengacara penggugat berharap proses pengadilan terkait gugatan kepada ExxonMobil akan segera diproses setelah menunggu lebih dari 20 tahun.
Agnieszka Fryszman, penasihat dalam kasus ini mengatakan bahwa tim hukum penggugat telah mengajukan lebih dari 300 halaman temuan faktual, 400 pameran, dan lima laporan ahli.
Pada November 2021, tim mengajukan mosi untuk menetapkan tanggal persidangan. Ia memproyeksi persidangan akan dilakukan pada musim semi ini.
“Kasus ini mengangkat isu penting. Kami yakin dengan bukti yang kami hadirkan dan berharap untuk membuktikan klaim di pengadilan,” ucap Fryszman.
Dalam dokumen pengadilan, ExxonMobil mengatakan tak tahu soal pelanggaran HAM dan tak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran yang mungkin terjadi. Sebagai informasi, Aceh adalah salah satu provinsi yang paling kaya dengan sumber daya alam (SDA) khususnya cadangan minyak dan gas (migas).
Pada 1971, Mobil Oil Indonesia menemukan bahwa daerah di sekitar Lhoksukon kaya dengan gas alam. Kemudian, pabrik di Lapangan Arun yang merupakan bagian dari Kawasan Industri Lhokseumawe yang lebih luas menghasilkan lebih dari US$1 miliar per tahun.
Pada 1999, Exxon membeli Mobil Oil dan membentuk ExxonMobil Corporation di Indonesia. Perusahaan itu yang mengelola Lapangan Arun hingga 2001.
“Kasus kami dimulai sebagai upaya penting untuk meminta pertanggungjawaban salah satu perusahaan terbesar dan paling kuat di dunia atas pelanggaran HAM yang mendasar,” kata pengacara HAM Terry Collingsworth.
Ketika ExxonMobil datang ke Aceh, provinsi ini terlibat dalam perang saudara berdarah yang telah berkecamuk selama beberapa dekade. Tepatnya, ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang untuk kemerdekaan dari Indonesia.
Kemudian, Aceh resmi dinyatakan sebagai daerah operasi militer khusus pada 1989. Pada akhir 1990 dan awal 2000, kekerasan sering terjadi di Aceh dan menyebabkan ExxonMobil menyewa tentara Indonesia untuk melindungi pabrik dan stafnya dari serangan.
Saat itulah penggugat menuduh bahwa tentara di bawah kontrak ExxonMobil menggerebek dan menyiksa penduduk desa yang mereka tuduh sebagai separatis. Hal ini membuat ExxonMobil dinilai harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Juru Bicara ExxonMobil Todd Spitler mengatakan pihaknya telah berusaha melawan klaim yang tak berdasar selama bertahun-tahun. Saat menjalankan bisnis di Indonesia, manajemen bekerja dari generasi ke generasi untuk meningkatkan kualitas hidup di Aceh lewat penyerapan tenaga kerja lokal hingga penyediaan layanan kesehatan. “Perusahaan mengutuk keras pelanggaran HAM dalam bentuk apapun,” tutup Spitler.