“Tradisi tet apam dilakukan turun temurun di Aceh. Biasa di bulan Rajab. Ini ada makna tersendiri,” kata Tarmizi A. Hamid, budayawan dan Kolektor Manuskip Aceh.
KOMPLEK Ratu Safiatuddin terlihat sibuk pada pertengahan Februari lalu. Kendaraan roda dua dan empat terparkir di sisi kiri jalan menuju rumah adat Pidie. Parkir ini hampir mencapai 500 meter.
Di rumah adat itu, terlihat para pria mengantri. Sedangkan ibu-ibu berseragam terlihat sibuk dengan peralatan kecil untuk memasak.
Ada adonan putih yang dituangkan ke wajan kecil. Sesekali mereka meniup api agar membesar dan membakar adonan rata.
“Ka masak?” tanya seorang pria.
“Neusaba dilee bang. Leuh dinilai juri, baroe kamoe bagi untuk pengunjung,” kata seorang ibu-ibu. Sang laki-laki tadi mengangguk dan kemudian memilih kembali ke kursi duduk.
Pemandangan tadi merupakan bagian dari Festival Tet Apam se-Kota Banda Aceh yang berlangsung di taman Ratu Safiatuddin, pertengahan Februari lalu.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Farid Nyak Umar, membuka Festival Tet Apam Se-Kota Banda Aceh yang digelar Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh Ketua DPRK Banda Aceh, FNU, resmi membuka Festival Tet Apam se Kota Banda Aceh yang digelar oleh Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh dan Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Masyarakat (IMPM) Mutiara Raya di Anjongan Pemkab Pidie, Kompleks Taman Sultanah Safiatuddin, Sabtu 15 Februari 2022 lalu.
Kegiatan yang bertajuk Budaya Aceh Keuneubah Indatu tersebut memperebutkan piala Ketua DPRK Banda Aceh, yang diikuti oleh ibu-ibu perwakilan dari setiap kecamatan di Banda Aceh.
Farid Nyak Umar menyampaikan bahwa apam merupakan makanan khas masyarakat Aceh. Makanan yang berbahan dasar tepung beras dan dibakar dengan kuali tanah ini hanya bisa ditemukan saat bulan Ramadan dan bulan kenduri apam atau bulan Rajab. Namun, kini bisa ditemui di beberapa gerai makanan dan warung kopi.
Menurutnya, tet apam ini merupakan salah satu budaya yang telah lama diwariskan secara turun-menurun dalam masyarakat Aceh pada bulan Rajab. Ini merupakan tradisi yang sudah sangat mengakar dan mempunyai nilai filosofi yang sangat mendalam, baik dilihat dari perspektif agama dan sosial budayanya.
“Budaya tet apam harus dilestarikan untuk anak cucu dan generasi penerus. Tet apam punya makna tersendiri. Pertama, kenduri apam merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat yang sudah diberikan Allah Swt dalam setahun terakhir dan sebagai persiapan menyambut Ramadan dua bulan ke depan, dengan pemenuhan nutrisi sejak bulan Rajab maupun Sya’ban.
Kedua, spirit agama. Hal ini jelas terlihat dari kebersamaan dalam proses tet apam, dimulai sejak dari perencanaan, proses, hingga penyajian hasil memasak bersama para keluarga dan tetangga dengan penuh keakraban.
Ketiga, spirit budaya, bila dikaji rutinitas tahunan peunajoh (kuliner) Aceh yang dilaksanakan pada bulan Rajab dalam kalender Hijriah, nilai dan spirit budaya sangat erat dengan jati diri bangsa.
Keempat, nilai pendidikan. Tentunya bicara bagaimana memandu teknik detail cara menghasilkan kuliner (khususnya apam) yang baik serta lezat untuk dinikmati. Kelima, nilai ekonomi. Biaya untuk bahan baku dari menu kenduri apam biasanya dikumpulkan masing-masing keluarga (meuripee), kemudahan bahan itu disatukan dan hasil masakan menjadi santapan penyajian bersama (diistilahkan khanduri) dalam suasana penuh pemaafan dan keakraban.
”Kenduri apam bagi orang Aceh sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat dan menjadikannya sebagai momentum untuk silaturahim antarsesama,” kata Farid saat menyampaikan sambutannya.
Farid menambahkan ada beberapa filosofi kenduri tet apam. Pertama, mempertahankan tradisi. Meskipun apam walau bisa saja dimasak dengan alat masak yang modern, tetapi apam tidak akan terasa nikmat secara cita rasa dan aromanya jika tidak “ditet” secara tradisional, bisa dikatakan “tidak sah” disebut apam jika tidak diolah secara tradisional.
”Makna yang terkandung di sini, melalui tet apamlah kita dapat mempertahankan tradisi dan kebiasaan indatu kita, tet apam adalah warisan indatu yang harus dijaga dan dilestarikan,” ujarnya
Tak hanya di Banda Aceh, tradisi tet apam sebenarnya sudah rutin dilaksanakan di Pidie dan Pidie Jaya.
Tet apam juga sering diadakan di Komplek Meunasah Kruet Teumpeun, Pidie. Pemerintah Pidie juga menggelar aktivitas ini setiap tahunnya.
Keuchik Kruet Teumpeun M Rifki Abdullah S.Pd, mengatakan, kegiatan itu juga sebagai upaya meningkatkan kekompakan dan silaturrahmi antar sesama Warga.
Sementara itu, budayawan sekaligus kolektor manuskip Aceh, Tarmizi A. Hamid, mengatakan tet apam bukan hanya tradisi masyarakat di Pidie tapi seluruh Aceh.
“Tradisi tet apam dilakukan turun temurun di Aceh. Biasa di bulan Rajab. Ini ada makna tersendiri,” kata Tarmizi A. Hamid, budayawan dan Kolektor Manuskip Aceh.
Dulunya, kata pria yang akrab disapa Cekmidi, tet apam digelar oleh tetua adat di setiap kampung di Aceh sebagai cara menghubungkan silaturahmi antar warga.
“Biasanya, ketika ada pria yang nikah di suatu desa dan jarang ke masjid, atau bersosialisasi, maka mereka didenda dengan cara tet apam. Tujuannya, agar ia berbaur dengan warga. Tujuannya baik,” kata Cekmidi.
“Biasa digelar bulan Rajab atau jelang Ramadan,” katanya lagi.

Tulisan ini merupakan hasil kerjasama antara Dinas Pariwisata Aceh dengan atjehwatch.com dalam rangka promosi wisata di Aceh.