MEDIA-MEDIA Amerika menulisnya dengan nama Charles Bidien. Tak ada yang tahu nama aslinya. Tapi ia putra kelahiran Aceh. Perjuangannya ditutup rapat usai Indonesia merdeka.
Charles Bidien memimpin aksi sejumlah demotrasi di Amerika untuk menentang penjajahan Belanda. Namun hidupnya justru terlunta-lunta usai Indonesia merdeka serta berakhir dengan gantung diri di rumah kontrakan di Kalibata.
Makamnya berada di Kalibata Tengah, Jakarta Selatan. Kondisi makam tak terurus dan rusak. Padahal jasanya sangat berarti bagi republic ini.
“Itu makam Charles Bidien. Orang Aceh yang menjual obat,” ujar Mohammad Ali, 94 tahun, pria kelahiran Pasar Minggu, seperti dikutip dari historia.id.
Artikel tentang Charles Bidien dimuat oleh Historia pada 22 November 2018 lalu. Tak ada kejelasan apakah Mohammad Ali masih hidup hingga sekarang.
Konon, Charles Bidien merupakan seorang putra Aceh yang memimpin aksi-aksi demonstrasi dan boikot di pelabuhan-pelabuhan di Amerika. Tercatat diantaranya aksi ini berhasil menahan sebelas kapal Belanda di pelabuhan New York yang akan mengangkut perlengkapan perang yang diperoleh dari pemerintah AS.
Tak hanya itu, iapun giat dalam organisasi dan media perlawanan. Bidien tercatat sebagai wakil Prof Dirk Jan Struik, seorang marxist dan sejarawan matematika dari Massachusetts Institute of Technology dan memimpin Komite Amerika untuk Indonesia Merdeka, editor Indonesian Review dan konsultan di Commite for a Democratic Far Eastern Policy.
Namun hidup Charles Bidien, berakhir tragis hingga menjelang kematian ia menjadi pedagang kakilima (penjual obat) yang tidak begitu laris di bilangan kramat raya.
Dikutip dari perpustakaanonline berjudul ‘Melacak Jejak Charles Bidien’, Martin Aleida seorang penulis dalam memoarnya, juga mengisahkan perjumpaan dengan Charles Bidien sebagai sesama pedagang kaki lima.
Martin mengisahkan Bidien menggelar klipingan koran-koran yang meliput aksi-aksi heroik para buruh pelayaran yang berdemontasi di pelabuhan-pelabuhan AS, diantaranya foto ketika Bidien sedang berorasi di lapak obatnya.
“Seorang di antara pedagang kakilima itu menyampaikan kabar, yang disiarkan sebuah koran kuning, bahwa Charles Bidien ditemukan meninggal gantung diri di rumah kontrakannya di daerah Kali Bata. Mendengar kabar duka itu hati saya luluh, walau saya tak sampai menitikkan air mata, karena kepergian tetanggaku itu. Tragis. Dia yang layak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di dekat situ, malah disiksa keputusasaan dan memaksa dirinya untuk bertemu dengan ajalnya dengan ketetapan hati yang mematikan.”
Selain itu Martin Aleida juga mengangkat kisah Charles Bidien dalam karya fiksi cerpen Elegi untuk Anwar Saeedy yang dimuat di koran Kompas dan majalah Matra. Cerpen itu diterbitkan kembali dalam antologi cerpen “Kata-kata membasuh Luka.“
“Pasca Perang Dunia II, banyak rakyat Amerika Serikat (AS) menentang imperialisme Eropa di Asia, termasuk upaya Belanda kembali bercokol di Indonesia. Mereka mengirimkan surat kepada Departemen Luar Negeri AS untuk menyatakan keprihatinan dan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka juga menunjukkannya dalam bentuk demonstrasi yang digalang organisasi-organisasi prokemerdekaan Indonesia. Salah satunya organisasi Komite Amerika untuk Indonesia Merdeka (American Committee for Indonesian Independence).”
Salah satu aksi mereka terjadi pada 19 Oktober 1945. Kala itu kaum buruh pelayaran Indonesia melakukan pemogokan dan demonstrasi yang berhasil menahan sebelas kapal Belanda di pelabuhan New York yang akan mengangkut perlengkapan perang yang diperoleh dari pemerintah AS.
“Karena perjuangan kaum buruh pelayaran Indonesia yang gigih dan juga karena setiakawan Serikat Buruh Pelayaran Amerika Serikat (National Maritime Union of USA), alat-alat perlengkapan perang Belanda terpaksa dibongkar lagi,” tulis Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Aksi buruh pelayaran itu dipimpin orang-orang Indonesia sendiri, termasuk Charles Bidien.
“Komite Amerika untuk Indonesia Merdeka dipimpin oleh sejarawan matematika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) AS, Prof Dirk Jan Struik. Wakilnya adalah Charles Bidien, orang Indonesia yang juga jadi editor Indonesian Review,” publikasi komunis AS yang diterbitkan Komite.
Kini, setelah sekian tahun Indonesia merdeka, tak ada tahu soal perjuangan Charles Bidien. Namun ia tidak sendiri. Ada juga catatan Teuku Makam yang memiliki peran penting untuk republic ini tapi dimiskinkan selama Orde baru.