Jakarta – Presiden Rusia, Vladimir Putin, dikabarkan menderita sakit kanker di tengah agresi Moskow ke Ukraina.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, buka suara menyikapi kabar tersebut.
Lavrov membantah spekulasi yang menyebut bahwa Presiden Vladimir Putin tengah sakit.
“Saya kira beberapa orang yang waras bisa melihat orang ini [Putin] tanda-tanda penyakit atau penyakit tertentu,” kata dia kepada TF1 seperti dikutip AFP pada Senin (30/5).
Lebih lanjut Lavrov menerangkan, Putin tampil di depan umum hampir setiap hari.
“Anda dapat melihatnya di layar, membaca dan mendengarkan pidatonya,” kata Lavrov dalam pernyataan resmi Kemlu Rusia.
“Saya menyerahkan [isu sakit Putin] kepada yang menyebarkan desas-desus seperti itu,” ia melanjutkan.
Lavrov juga menyebut orang nomor satu di Rusia itu akan berulang tahun yang ke 70 pada Oktober mendatang.
Kesehatan Putin dan kehidupan pribadinya merupakan tabu dibicarakan di Rusia. Kedua hal tersebut nyaris tak pernah menjadi konsumsi publik.
Sebelumnya, Putin disebut hanya punya sisa hidup hingga tiga tahun karena penyakit yang dideritanya.
Ia dilaporkan menderita kanker dan kesehatannya memburuk dengan cepat.
“[Putin] punya waktu tak lebih dari dua hingga tahun untuk tetap hidup. [Ia punya] kanker yang berkembang pesat,” kata salah satu perwira pembelot Badan Intelijen Rusia (FSB), Boris Karpichkov, seperti dikutip dikutip The Independent.
Pernyataan Karpichkov berasal dari mata-mata Rusia yang tak dikenal. Mata-mara itu juga mengatakan Putin kerap mengalami sakit kepala dan fungsi pengelihatannya memburuk.
“Kami diberitahu bahwa dia menderita sakit kepala dan ketika dia muncul di TV, dia membutuhkan selembar kertas dengan semua yang ditulis dalam huruf besar untuk membaca apa yang akan dia katakan,” kata perwira Rusia itu kepada Sunday Mirror .
Huruf-huruf yang tertera di setiap halaman, lanjutnya, begitu besar.
“[Karena] Penglihatannya benar-benar memburuk,” kata Karpichkov.
Putin telah memimpin Rusia selama lebih dari dua dekade. Ia menjadi sorotan dunia usai menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu.
Invasi itu telah menewaskan ribuan orang, memicu krisis pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II dan membuat Moskow banjir sanksi dari Barat, negara lain serta organisasi internasional.