Pangkalpiang – Keputusan pemerintah menaikkan tarif listrik untuk pelanggan dengan daya di atas 3.500 VA dinilai sebagai bentuk subsidi silang. Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, mengatakan pelanggan listrik 3.500 VA ke atas adalah golongan mampu yang bisa ikut gotong royong membantu pemerintah melindungi kelompok kurang mampu.
“Harapannya, asumsi makro membaik, pertumbuhan ekonomi baik,ekonomi bangkit lalu daya beli membaik. Jadi ada subsidi silang gitu lah ya. Ada gotong royong dari masyarakat yang mampu untuk membantu mengamankan masyarakat golongan bawah,” tutur Yustinus saat dihubungi dari Pangkalpinang, Rabu, 15 Juni 2022.
Pemerintah menaikkan tarif dasar listrik untuk lima golongan pelanggan non-subsidi mulai 1 Juli 2022. Kenaikan itu berlaku bagi pelanggan mampu dengan daya 3.500-5.550 VA, 6.66 VA, serta golongan pemerintahan.
Ia menjelaskan kenaikan tarif listrik ini tak bisa lepas dari dampak ekonomi politik global di dunia. Terjadinya krisis moneter di Amerika Serikta, kenaikan harga komoditas batu bara dan kelapa sawit, menjadi faktor pemicu kenaikan biaya produksi listrik.
Di satu sisi, kondisi tersebut menjadi berkah bagi Indonesia karena ekspor komoditas terkerek. Namun di sisi lain, biaya-biaya produksi untuk sektor energy, seperti BBM dan listrik, juga naik sehingga subsidi ikut membengkak.
“Mau tidak mau memang pemerintah harus melakukan realokasi APBN, harus ada subsidi yang dikurangi.”
Meski begitu, Yustinus mengatakan pemerintah berkomitmen untuk terus melindungi masyarakat golongan bawah dengan subsidi. Pemerintah menjaga agar tarif BBM jenis Pertalite tidak naik.
“Bertahap, pemerintah berusaha mengatur pembelian Pertalite agar tepat sasaran dengan harga tetap disubsidi,” ucap Yustinus, menambahkan.
Soal kemungkinan menaikkan harga BBM, menurut Yustinus, pemerintah selalu mempertimbangkan dinamika masyarakat dan ekonomi dunia. Dengan asumsi harga Indonesian crude price (ICP) masih sekitar US$ 100 per barel, tariff BBM dan anggaran subsidi pun dipastikan masih aman.
“Tapi kalau harga ICP sudah di atas US$ 100 per barel dalam jangka waktu yang cukup lama, mau tidak mau harus ada adjustment,” katanya.
Ihwal kenaikan tarif listrik lanjutan untuk pelanggan non-subsidi pada 2023, Yustinus menyebut hal itu masih asumsi. Pernyataan itu sama dengan yang disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu dalam rapat Badan Anggaran DPR.
“Itu baru skenario jika indikator makro ekonomi memang mendukung. Kalau pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3-5,9 persen, daya beli membaik, ekonomi pulih,” kata Yustinus.
Keputusan pemerintah mengerek tarif listrik untuk pelanggan nonsubsidi diakui membuat pengusaha logistik dengan pendingin, Paxel, agak berat. Direktur Utama Paxel.co Zaldy Masita merincikan konsumsi listrik selama ini berkontribusi sekitar 5 persen terhadap biaya operasional.
“Paxel ini kan banyak menggunakan freezer, chiller, cold storage yang listriknya besar ya, otomatis cost naik,” katanya.
Walau begitu, sebenarnya, Zaldy menyebut biaya listrik masih kalah dibandingkan dengan biaya solar yang mencapai 20 persen. “Jadi selain berat di listrik, sekarang ini kami juga deg-degan menunggu keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM atau tidak. Kalau naik juga, ya, otomatis kami harus menaikkan tarif nih,” ujar dia.
Menurut Zaldy, asumsi makro pemerintah tahun ini dan 2023 masih terlalu optimistis. “Kami di lapangan enggak demikian melihatnya. Pulih sih pulih, tapi daya beli masih belum stabil. Daya beli tinggi hanya saat Lebaran. Setelah Lebaran, permintaan drop lagi, bahkan sangat dalam. Penurunannya sekitar 70-80 persen.”
Karena itu, Zaldy berharap pemerintah bisa mengkaji kembali keputusan kenaikan tarif listrik maupun harga BBM. Para pengusaha khawatir, aneka kenaikan tarif ini akan kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi.