JALANNYA relative sempit, berliku dan naik turun bukit. Beberapa kali kami melewati hutan jati.
Perpohonan yang rindang terlihat selama perjalanan. Melewati persawahan dan tanah lapang berbukit hingga akhirnya kami tiba di tempat ini, Sabtu 2 September 2022 lalu.
Suasananya terasa asri. Perpohonan hijau dan udara yang segar.
Ya, setelah hampir 45 menit perjalanan pusat kota, akhirnya kami tiba di bukit kecil ini. Rombongan ini dikomandoi Senator DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc MA atau akrab disapa Syech Fadhil.
Kami memarkir mobil di jalan kecil. Jalanannya sepi dan sunyi. Hanya ada kicauan burung yang terdengar di sana.
Di atas bukit, ada plamplet kecil bertuliskan, “komplek makam keluarga R. Ng. Donopuro, di Dukuh Tegalsari, Desa Temurejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora.”
Ada ratusan makan di sana. Salah satunya milik pejuang wanita asal Aceh. Beliau adalah Pocut Meurah Intan. Ke kuburan inilah kami berempat berkunjung.
Pocut merupakan sebutan untuk wanita bangsawan di Aceh. Namun sosok Pocut Meurah Intan bukanlah sosok wanita biasa asal Aceh.
Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber, Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kesultanan Aceh.
Ayahnya Keujruen Biheue.
Ia juga biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XXII mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.
Suami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah.
Konon, Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda.
Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, Pocut Meurah Intan juga disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya.
Sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.
Dalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda.
Hal ini di sebutkan dalam laporan colonial “Kolonial Verslag tahun 1905”, bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan.
Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya.
Dua di antara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.
Pada Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Pada 19 April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25. pasal 47 R.R.
Peningkatan intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda.
la mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang.
Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan, luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.
Setelah Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya, bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee.
Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.
Setelah Tuanku Nurdin ditahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim, mereka kemudian diasingkan ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24.
Pocut hidup selama 32 tahun di pengasingan.
Dimakamnya, tertulis bahwa ia meninggal pada 19 September 1937 di Blora. Dimakamkan di atas bukit kecil yang damai di Desa Temurejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, tempat yang kami datangi hari ini.
Dari lokasi mobil yang kami parkir, kami meneruskan perjalanan mendaki jalan kecil yang sudah dibeton dengan jarak sekitar 200 meter. Kuburan Pocut berada di atas bukit berjejer dengan kuburan lainnya.
Kuburan Pocut Meurah Intan terlihat terawat dengan baik. Nisannya bersih.
Konon, Pemprov Jawa Tengah dan Gubernur Ganjar Pranowo telah berulangkali berkunjung ke lokasi ini untuk menjadikan komplek tersebut bagian dari Cagar Budaya. Demikian juga dengan bupati setempat.
Syech Fadhil sendiri, mengapresiasi kepedulian Pemprov Jawa Tengah atas kepedulian dalam merawat makam pahlawan asal Aceh.
“Selaku putra Aceh, kita bersyukur bahwa pemerintah dan masyarakat di sini begitu peduli terhadap pelestarian makam Pocut Meurah Intan. Mewakili masyarakat Aceh, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya,” kata Syech Fadhil.
“Semoga Allah Swt membalas segala kebaikan bapak ibu serta pemerintahan di sini karena telah merawat makam Pocut dengan begitu baik,” ujar Syech Fadhil lagi.
Di lokasi, kami juga sempat berdoa bersama. Doa ini dipimpin langsung oleh senator Aceh yang dikenal dekat dengan ulama dayah ini.
Suasana terasa khidmat. Kerinduan yang lama untuk bisa berkunjung ke Makam Pocut akhirnya terobati.
Kami melawi rute panjang untuk tiba di makam Pocut. Dari Aceh kami terbang ke Jakarta dan kemudian melalui rute darat ke Blora, hingga akhirnya tiba di sini.
Kami berada di lokasi hampir 45 menit lamanya. Kemudian meminta izin untuk kembali ke Jakarta.