KALIURANG. Lokasi ini berada di kaki Gunung Merapi. Nama terakhir merupakan objek wisata cukup tenar di nusantara. Gunung Merapi sendiri berada di perbatasan antara Yogyakarta dengan Jawa Tengah.
Sekitar 30 menit perjalanan dari Yogyakarta.
Jalan sedikit berliku dan mendaki. Namun fasilitas public yang memadai dan jalan beraspal membuat perjalanan ini terasa lebih santai.
Sama halnya dengan Aceh. Alamnya masih hijau asri ditambah udaranya yang jauh dari polusi membuat Kaliurang menjadi tempat yang selalu diburu masyarakat untuk berwisata.
Ke tempat inilah kami berkunjung pada awal September lalu.
Kami berempat saat itu. Ada Senator DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc MA, penulis serta dua anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) asal Aceh lainnya, ustadz Asnawi serta ustadz Mirzan.
Kami ke lokasi ini untuk melihat bagaimana warga dan pemerintah setempat mampu menyulap lokasi bekas menjadi menjadi destinasi wisata yang mampu menarik ribuan wisatawan setiap harinya.
Tiba di Kaliurang kami disambut oleh petugas yang murah senyum.
Di sisi kiri dan kanan juga terdapat hotel dan warung yang memudahkan bagi pengunjung.
Ada kamar kecil, ATM serta mushala. Fasilitas public lengkap. Ada juga warung warung kecil di sepanjang jalan. Rata-rata menjual makanan ringan khas Yogyakarta dengan berbagai souvenir menarik.
Padahal Kaliurang jauh dari pusat kota.
Sentuhan pemerintah amat terasa di lokasi wisata ini. Beberapa petugas yang memakai logo pemerintah setempat tak segan menyapa para wisatawan yang masih linglung mencari destinasi menarik.
Seorang petugas kemudian memperkenalkan kami dengan pengemudi Jip terbuka berambut gondrong. Ia bernama Yusuf. Lelaki murah senyum ini menawarkan paket wisata berkunjung ke sejumlah tempat di lereng Merapi dengan tarif sekitar 500 ribu perkendaraan.
Tarif ini berlaku normal bagi siapapun yang berkunjung disana.
Kesan positif yang ditunjukan oleh Yusuf membuat kami akhirnya sepakat untuk memakai jasanya untuk keliling lereng Merapi.
“Ini mungkin memakan waktu hampir 3 jam pulang pergi,” ujar Yusuf dengan topi koboinya.
Pria ini cukup menarik. Ia memiliki pengetahuan yang luas tentang Merapi. Termasuk beberapa kali bencana menimpa kawasan tersebut dan jumlah korban meninggal.
Ia bercerita sambil mengemudi. Yusuf juga bercerita tentang bencana Merapi dan momen krusial untuk setiap tempat yang kami lewati.
“Di sini dulu, ada rumah milik bapak-bapak yang tidak mau mengungsi saat meletus. Usia-nya sudah tua. Sudah kami bujuk berulangkali tetapi beliau tetap pada pendiriannya. Akhirnya kami nyerah. Belakangan usai bencana kami menemukan jasad beliau dengan posisi kulit terbakar,” ujar Yusuf sambil menunjuk ke arah kiri. Di sana ada bangunan kosong yang hancur dan tidak lagi ditempati. Bangunan tersebut sengaja dibiarkan untuk menjadi pengingat bagi warga tentang bencana Merapi.
Sekitar 30 menit perjalanan, kami akhirnya tiba di bekas perkampungan dekat lereng Merapi. Oleh warga setempat, rumah-rumah yang hancur dijadikan museum. Salah satunya Museum Sisa Hartaku. Di sana dipajang sejumlah alat-alat dapur, foto foto bencana serta tulang-tulang sapi.
Konon, sebelum bencana Merapi, desa ini merupakan pusat peternakan sapi. Namun bencana Merapi membuat desa ini mati suri. Rumah hancur dan warga terpaksa mengungsi. Sedangkan hewan ternak yang tidak bisa diungsikan jadi tulang belulang terkena awan panas.
Usai bencana, desa ini dijadikan lokasi kunjungan wisata. Salah satunya Museum Sisa Hartaku. Ribuan pengunjung singgah setiap harinya ke lokasi tadi. Ada yang sekedar foto-foto dan ada juga yang membeli souvenir di lokasi tadi. Pendapatan dari para wisatawan ini dijadikan warga untuk sumber pendapatan untuk membangun kehidupan mereka di tempat tinggal yang baru.
Keadaan ini mengingatkan penulis tentang desa-desa yang terkena imbas tsunami di pesisir Aceh. Namun sangat jarang ada warga yang memiliki pemikiran yang sama. Keadaan pesisir Aceh saat ini nyaris seperti tidak pernah ada bencana.
Lokasi kedua yang kami kunjungi adalah Batu Alien. Lokasi ini sebenarnya hanya perbatuan biasa. Konon, batu tersebut terlempar hampir 14 kilometer dari kawah Merapi.
Oleh pemuda setempat, batu raksasa tadi dijadikan kawasan menarik untuk disinggahi. Campur tangan pemerintah membuat lokasi ini menarik untuk berfoto ria.
Sedangkan lokasi ketiga yang kami kunjungi adalah rumah Mbah Maridjan. Nama terakhir adalah juru kunci Gunung Merapi. Mbah Maridjan cukup terkenal di era 2005 ke atas. Ia pernah menjadi bintang iklan salah satu merek minuman bertenaga. Mbah Maridjan meninggal saat gunung Merapi meletus pada 2010.
“Saat gunung Merapi meletus 2006. Mbah Maridjan tidak mau mengungsi. Alhamdulillah ia selamat saat itu. Inilah yang membuat warga percaya bahwa selama Mbah Maridjan masih berada di rumah, mereka tetap aman meski Merapi meletus,” jelas Yusuf.
Padahal, kata Yusuf, saat Merapi kembali meletus pada 2010 lalu, Mbah Maridjan sudah mengingatkan agar warga mengungsi sesuai ajuran pemerintah. Hanya saja Mbah Maridjan tidak mau mengungsi karena ia telah sepenuhnya menyerahkan hidupnya untuk bersama Merapi.
“Mbah Maridjan telah siap meninggal. Namun himbauan Mbah Maridjan ini tidak sama ke telinga masyarakat hingga akhirnya banyak warga yang abai dan menjadi korban Merapi di tahun 2010,” ujar Yusuf.
Rumah almarhum Mbah Maridjan kini telah dipugar kembali. Di lokasi dibangun mushala untuk tempat wisatawan melaksanakan salat. Sedangkan di sekeliling rumah tempat kedai souvenir.
Puas berfoto di rumah Mbah Maridjan, Yusuf mengajak kami ke lokasi bunker Merapi di titik akhir. Di lokasi ini juga dipenuhi penjual souvenir dan bunga Edelwies.
Konon, bunga Edelwies disebut juga sebagai bunga abadi dan hanya tumbuh di lereng gunung. Karena susah didapatkan, bunga ini jadi lambang cinta abadi. Bagi seorang pendaki gunung, bunga Edelwies sering dibawa pulang sebagai lambang cinta untuk orang terkasih.
Di lokasi bunker Merapi tadi, bunga Edelwies dijual seperti layaknya bunga biasa. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri.
Bunker Merapi jadi titik akhir dari wisata Merapi bagi pengunjung yang masuk melalui jalur Kaliurang.
“Sebenarnya ada desa di dalam lagi. Tapi tidak lagi diizinkan oleh pemerintah,” ujar Yusuf.
Kami kemudian turun kembali ke jalur pulang menuju Kaliurang. Namun di tengah jalan, Yusuf sengaja membawa kami melintasi sungai kecil di sana untuk memacu adrenalin.
Bagi penulis, wisata Merapi yang dikemas di Kaliurang memiliki arti sendiri. Terutama bagaimana masyarakat menyulap lokasi bencana menjadi lokasi wisata yang memikat ribuan wisatawan setiap harinya.
“Alamnya sama seperti di Aceh. Namun historisnya yang mahal,” ujar Syech Fadhil di akhir perjalanan.
“Kehadiran pemerintah di lokasi wisata dengan pelayanannya dan fasilitas publik. Keramahtamahan pemandu wisatawannya. Nilai-nilai sejarahnya.”
“Semoga lokasi wisata di Aceh juga bisa seperti Yogyakarta,” kata Syech Fadhil.