TERLETAK di perempatan jalan. Arus kendaraan sering kali macet di kawasan ini. Beberapa pria berpakaian Dishub DKI Jakarta tampak sibuk mengatur arus lalu lintas.
Sementara para pejalan kaki hilir mudik tanpa henti. Ini sebenarnya pemandangan normal di ibukota.
Di depan gerbang tertulis, ‘TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta.” Inilah lokasi yang hendak kami tuju.
Seorang pria bertubuh kekar menyapa kami di pintu masuk.
Ia agak kelabakan saat melihat plat kendaraan yang kami tumpangi kami merapat ke sana, pada awal September 2022 lalu. “DPD RI-O1-02.”
“Mau melayat,” ujar salah seorang dari rombongan kami.
Pria tadi kemudian mengangguk. Ia mempersilakan mobil yang kami tumpangi untuk masuk ke dalam. Palang kayu yang terpasang di dekat pos satuan pengaman dibuka. Kami menelusuri ruas jalan kecil di sana dengan laju lamban.
Ribuan makam bertabur di sisi kiri dan kanan kami. Namun tak ada kesan angker. Kondisi ini karena makam-makam di sini cukup terawat.
Setiap makam diberi nomor khusus dengan cat warna merah. Konon, nomor-nomor ini untuk memudahkan petugas menarik distribusi ‘iuran perawatan’ pada warga yang keluarganya dimakamkan di sana.
Sejumlah pedagang turut memarkir gerobaknya di sana. Ramainya penziarah membuka peluang bagi warga untuk membuka usaha dadakan di pemakaman.
Mobil yang kami tumpangi berhenti setelah laju hampir seratus meter. Kami turun satu persatu. Pria bertubuh subur di antara kami menunjuk ke arah kanan. Ia bernama Mukti, pemuda Aceh yang sudah lama menetap di Bekasi.
Mukti berprofesi perawat. Ia menikah dengan perempuan Betawi serta menetap di Bekasi. Namun meski lama tinggal di daerah perbatasan dengan ibukota itu. Mukti masih fasih berbahasa Aceh.
“Di sini bang makam Sultan Aceh,” kata dia.
Selain Mukti, ada senator DPD RI asal Aceh HM Fadhil Rahmi Lc serta anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh, Mirzan, dalam rombongan ini.
Mirzan bertindak sebagai sopir. Sedangkan Mukti sebagai penunjuk arah. Selain itu juga ada penulis sendiri. Kalimat ‘bang’ yang diucapkan oleh Mukti ditunjukan pada senator Aceh. Ini karena yang bersangkutan adalah adik dari pria yang akrab disapa Syech Fadhil itu.
Di lokasi yang ditunjuk Mukti, ada sederetan makam yang agak berbeda dengan tampilan makam pada umumnya di sana.
Salah satunya bertuliskan ‘Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah Djohan Berdaulat.’ Di nisan bagian kepala terdapat kain berwarna kuning. Ini makam raja terakhir Aceh. Kedatangan kami membuat sejumlah petugas bersih-bersih di sana terlihat sibuk.
Mereka memegang sapu dan lidi untuk membersihkan daun daun kering yang jatuh di atas makam.
Syech Fadhil sendiri terdiam lama di depan makam sultan Aceh. Di sisi kiri kanan makam sultan, juga terdapat makam para pengawal dan keluarga ke sultanan lainnya. Mereka adalah orang-orang yang setia yang menyertai sultan selama dalam tawanan Belanda di Batavia.
“Ya Allah. Semoga geubri beuluwah kubu,” kata Syech Fadhil.
+++
Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah, merupakan sultan ke-35 atau sultan terakhir Aceh.
Sultan Muhammad Daud Syah lahir pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada 26 Maret 1873 M.
Pada usia tujuh tahun, dia diangkat sebagai sultan Aceh di Masjid Indrapuri pada Kamis, 26 Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) yang meninggal pada 28 Januari 1874 karena wabah kolera dan dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar.
Pemerintah Kolonial Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah ke Pulau Jawa pada 24 Desember 1907.
Belanda menganggap sultan tidak bisa diajak berkerja sama dengan Belanda yang kala itu sudah menguasai Kutaraja.
Sultan menolak menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Bahkan draf surat damai dirobek Sultan Muhammad Daud Syah di Pendopo Jenderal Van Heutz (pendopo Gubernur Aceh sekarang).
Karena tidak mengakui kekuasaan penjajah, pada 3 Februari 1903, sultan oleh Belanda dijadikan tahanan rumah (diintenir) di kampung Keudah, Banda Aceh.
Dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di sekitar Kutaraja.
Meski dalam tahanan rumah, sultan masih dapat menjalankan pengaruhnya menyusun siasat menyerang Belanda di Kutaraja secara diam-diam bersama pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda, Teuku Panglima Polem Muda Kuala dan Teungku Syiek di Tanoh Abee.
Pada tahun 1880, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah juga ikut bergabung.
Melihat kondisi tak menguntungkan ini, pada 24 Desember 1907 Belanda menangkap dan membuang sultan bersama keluarga inti yaitu anaknya Tuanku Raja Ibrahim dan Teungku Bungsu serta pengikutnya ke Bandung dan Ambon.
Sebelumnya, pada 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim, 6 tahun, disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie.
Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri kepada Belanda.
Sultan Muhammad Daud Syah meninggal sebagai tawanan Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 6 Februari 1939 dan dimakamkan di Rawamangun.
Setahun lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi memugarkan sultan terakhir Aceh tersebut.
Anies mengharapkan pemugaran makam Sultan Muhammad Alaidin Daud Syah yang juga merupakan sultan terakhir Aceh di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, harus menjadi tradisi untuk menjaga para pejuang. Pemugaran direncanakan menghabiskan anggaran sebesar Rp2,1 miliar.
+++
KAMI menyempatkan diri untuk berdoa di lokasi makam ini. Doa bersama dipimpin langsung oleh Syech Fadhil.
Bagi Syech Fadhil, mengunjungi makam Sultan terakhir Aceh di Utan Jati dan makam pahlawan Aceh lainnya di Jawa, seperti Pocut Meurah Intan di Blora Jawa Tengah dan Cut Nyak Dhien di Sumedang Jawa Barat, memiliki makna tersendiri.
“Nilai pertama, mereka tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk membela Aceh dan Islam meski harus dibuang jauh dari daerah kelahiran,” ujar Syech Fadhil seusai doa bersama.
“Keyakinan seperti ini yang harus dipegang oleh kita selaku generasi muda Aceh.”
“Dimanapun kita berada, dan apapun profesi serta status kita sekarang. jangan pernah lupa bahwa identitas kita adalah Aceh dan agama kita adalah Islam. Prinsip ini harus kita pegang kuat hingga nafas terakhir seperti mereka para syuhada Aceh,” ujar senator yang dikenal dekat dengan para ulama Aceh ini lagi.
Usai berdoa, rombongan ini pamit.
Syech Fadhil sempat membagi-bagikan rupiah kepada para pedagang di sana tanpa mengambil jajanan yang dijual di komplek tadi.
“Ini saya beli tapi kue-nya dikasih sama mereka yang makan setelah saya pergi,” ujar Syech Fadhil sambil berlalu.
Baca juga:
Menjenguk Cut Nyak di Sumedang