BARU 15 meter saya berlari. Gelombang kedua datang. Namun kali ini tak hitam pekat. Hanya air kecoklatan.
Air itu bergerak dengan cepat. Saya hanya pasrah pada saat itu. Menyambut gelombang dan kemudian tenggelam di dalamnya.
Beberapa kali saya mencoba berenang. Namun arusnya sangat kuat. Lidah saya keluh dipenuhi pasir dan air.
Namun tiba-tiba ujung baju saya menyentuh sesuatu. Kemudian badan saya tertahan di sana. Saya mencoba berpegangan pada benda tadi. Belakangan saya ketahui benda tersebut adalah beton lantai rumah warga yang belum selesai. Ujung baju saya tersangkut besi bangunan tadi.
Saya berpegangan hingga akhirnya merayap ke atas atap bangunan tadi. Saya berdiam di sana hingga air gelombang kedua surut.
Merasa sudah aman, saya kembali turun dari atap bangunan tadi. Kemudian berlarian ke rumah adik Bapak guna melihat kakek.
Rumah adik Bapak berbentuk rumah panggung khas Aceh. Saat itu rumah panggung tersebut mulai bergeser 4 meter dari lokasinya semula.
Adik Bapak (kami orang Aceh menyebutnya Cut Lot-red), ternyata masih di rumah. Demikian juga dengan kakek. Kakek lumpuh akibat jatuh dari sepeda sekitar tahun 2003. Namun kakek bertahan dari hantaman tsunami.
Lantai rumah panggung itu setinggi pria dewasa dari permukaan tanah. Kakek dan Cut Lot, bertahan di atas tempat tidur. Tingginya hanya selutut pria dewasa dari lantai.
“Cut Lot, pondosi rumah sudah bergeser. Bahkan ada yang hampir patah. Kalau dihantam tsunami lagi akan rubuh,” ujar saya.
Cut Lot mengiyakan. Saya memanggul kakek untuk membawa ke rumah. Ini karena lokasi rumah kami lebih tinggi dan aman dari hantaman tsunami.
Namun belum sekitar 14 meter bergerak. Gelombang tsunami ketiga kembali datang.
Cut Lot dengan cepat meloncat ke atap rumah orang. Sedangkan saya lari sekencangnya ke rumah panggung milik tetangga lainnya guna menyelamatkan kakek. Saya tidak tahu entah kekuatan dari mana saat itu sehingga mampu memanggul kakek yang beratnya hampir 90 kilo. Saya sendiri beratnya 45 kilo. Saat itu masih sangat kurus.
Tangga rumah panggung kami naiki dengan cepat. Di atas, beberapa pemuda menolong saya untuk memapah kakek agar duduk dengan sempurna. Rumah panggung tadi sangat padat. Ada yang hanya mengenakan pakaian dalam. Di sana kami melihat gelombang tsunami ketiga dan ke empat datang. Gampong kami laksana lautan saat itu.
Beberapa pria terlihat di atas puncuk pohon kelapa. Di bawahnya ada mayat.
Beberapa rumah bermaterial semen mulai rubuh. Jeritan anak kecil menyertai pemandangan tadi. Terdengar juga ocehan beberapa nama warga yang diketahui sudah meninggal.
Kami baru turun dari rumah panggung tadi usai memastikan gelombang tsunami tidak ada lagi. Saya tetap memangkul kakek. Saya takut meminta tolong sama orang lain. Ini karena wajah mereka terlihat redup dan bertingkah seperti orang yang tidak lagi bersemangat hidup. Mereka mengira saat itu telah kiamat.
Saya memanggul kakek hingga ke rumah kami. Di sana, beberapa warga dan Bapak membawanya dengan becak ke atas bukit Desa Neuheun.
Semua keluarga inti saya selamat. Namun perumahan dan penduduk Desa Lamnga hilang separuh.
Sedangkan Desa Gampong Baro lebih parah lagi. Dari ribuan penduduk Gampong Baro. Hanya belasan orang yang selamat.
Di atas bukit, penduduk yang selamat dari Desa Lamnga dan Gampong Baro membentuk posko bersama.
Sekitar pukul 14.00 WIB, pengurus desa meminta pria dewasa dan pemuda kembali ke kampung. Kami dibentuk tiga kelompok, satu kelompok mencari mayat, satu kelompok menggali kuburan massal, serta satu lagi bertugas salat mayat.
Saya masuk dalam kelompok mencari mayat.[SELESAI]
Penulis bernama Murdani dan warga Desa Lamnga Aceh Besar. Kini aktif dalam dunia jurnalistik.