Atjeh Watch
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video
No Result
View All Result
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video
No Result
View All Result
Atjeh Watch
No Result
View All Result
Home Opini

[Opini] Mengapa Kita Mudah Marah pada Koruptor, tapi Diam pada Kolusi Sehari-hari?

redaksi by redaksi
09/10/2025
in Opini
0
[Opini] Mengapa Kita Mudah Marah pada Koruptor, tapi Diam pada Kolusi Sehari-hari?

Oleh Annisha Arrahmani Channya. Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas.

Kita mungkin sudah sering melihat banyaknya berita korupsi yang berseliweran di media sosial. Hampir setiap bulannya, selalu ditemukan ada kasus baru yang membuat dahi berkerut dan jari-jari kita gatal ingin mengetik komentar penuh amarah. Jumlah yang dikorupsi pun bukan angka kecil tapi miliaran, bahkan triliunan rupiah.

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang diduga terlibat pungutan liar dalam proses sertifikasi keselamatan kerja. Kasus ini mengguncang publik karena melibatkan pejabat aktif kabinet. Belum reda, muncul pula dugaan korupsi kuota haji tambahan 2023-2024, di mana KPK menyita uang tunai lebih dari Rp26 miliar serta sejumlah aset tanah dan kendaraan.

Kedua kasus itu kembali memancing gelombang kemarahan publik. Linimasa penuh dengan komentar: “Beginilah wajah pejabat kita!”, “Negara ini tak akan pernah bersih!”, “Hukum mati saja!” Tapi di tengah kemarahan yang membara itu, adakah dari kita yang pernah berhenti sejenak untuk berkaca?

Pernahkah kita “menitipkan” berkas agar dipercepat? Memberi amplop kecil supaya urusan lancar? Atau diam saja ketika teman mendapat nilai lebih karena “faktor kedekatan”? Inilah sikap kita yang sering bertentangan. Kita mudah marah pada koruptor yang muncul di berita, tapi diam saja ketika melihat kolusi di sekitar kita. Menyalahkan orang lain terasa mudah dan aman, tapi mengoreksi diri sendiri jauh lebih sulit.
Kemarahan yang Nyaman dan Abstrak

Koruptor kelas kakap mudah dibenci karena mereka punya nama, wajah, jabatan, dan angka fantastis di berita utama. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2024 terdapat 364 kasus korupsi dengan 888 tersangka, dan total kerugian negara mencapai Rp279,9 triliun. Angka yang sangat luar biasa, tetapi terasa jauh dan abstrak bagi masyarakat. Apa arti Rp1 triliun bagi seseorang yang berpenghasilan pas-pasan?

Karena terasa jauh dari kehidupan kita, kemarahan terhadap korupsi besar tidak berisiko. Kita bisa mengecam di media sosial tanpa kehilangan apa pun. Kita bisa merasa bermoral tinggi tanpa harus melakukan tindakan nyata. Inilah bentuk “moralitas tanpa pengorbanan”. kita merasa seolah benar tanpa perlu repot menjadi benar.

Kolusi Sehari-hari yang Mematikan

Namun, wajah korupsi yang paling berbahaya justru yang paling akrab adalah kolusi kecil dalam keseharian. “Uang rokok” untuk tilang, “pelicin” untuk mempercepat layanan, “hadiah” bagi pejabat agar urusan tak dipersulit.

Menurut Global Corruption Barometer (Transparency International, 2020), sekitar 30% masyarakat Indonesia mengaku pernah membayar suap untuk layanan publik, dan 41% di antaranya terjadi di sektor kepolisian. Meski data ini beberapa tahun lalu, pola perilaku serupa tampak masih berlanjut hingga kini, terlihat dari masih seringnya kasus suap kecil diberitakan di media lokal.

Kita tahu itu salah, tapi punya segudang pembenaran, yakni “Biar cepat.”, “Kalau tidak, bisa dipersulit.”, “Semua orang juga begitu.” Inilah yang disebut psikolog Albert Bandura sebagai moral disengagement mekanisme psikologis untuk mematikan rasa bersalah. Kita mengganti kata “suap” menjadi “uang terima kasih”, membandingkan dosa kita dengan koruptor miliaran agar tampak sepele, atau menyalahkan sistem agar tak perlu menyalahkan diri sendiri. Lama-kelamaan, kita pun terbiasa. Dan kebiasaan itu menggerogoti nurani tanpa kita sadari.

Dilema Sosial: Terjebak Tapi Tidak Tak Berdaya

Di sinilah muncul yang disebut Social Dilemma of Corruption. Kita semua tahu sistem yang bersih itu ideal, tetapi ketika semua orang bermain kotor, orang jujur justru tampak bodoh.

Bayangkan seorang ayah yang anaknya butuh surat keterangan tidak mampu untuk beasiswa. Pejabat setempat meminta “uang administrasi tambahan”. Ia tahu itu salah, tapi jika tidak memberi, anaknya mungkin gagal mendapat bantuan. Inilah penjara dilema sosial. situasi di mana seseorang terpaksa berbuat salah demi bertahan di sistem yang sudah salah.

Namun, memahami tekanan ini bukan berarti kita membenarkannya. Justru di sinilah pentingnya membangun sistem yang tidak memaksa orang baik untuk berbuat curang. Di titik ini, kita harus mempertanyakan: sampai kapan kita akan terus mengorbankan integritas demi sekadar “selamat” dalam sistem yang bobrok?

Ketika Diam Jadi Bagian dari Masalah

The Broken Windows Theory menjelaskan bahwa kejahatan kecil yang dibiarkan adalah sinyal bahwa aturan bisa diabaikan dan itu membuka jalan bagi kejahatan besar. Begitu pula korupsi. Ketika suap kecil dianggap lumrah, kita sedang menanam benih bagi korupsi yang lebih sistematis.

Kita juga terjebak dalam logika “asal urusan beres”, padahal diam berarti menyetujui. Saat itu terjadi, kita bukan lagi korban sistem, melainkan bagian aktif dari sistem itu sendiri. Kita kehilangan hak moral untuk marah pada koruptor, sebab dalam skala kecil, kita menjalankan logika yang sama yakni mengutamakan kepentingan pribadi di atas keadilan.

Mulai dari Diri Sendiri, Tapi Tak Berhenti di Situ

Perubahan tidak akan datang dari atas jika fondasi di bawahnya masih rapuh. Perang melawan korupsi memang harus dimulai dari keberanian pribadi untuk berkata “tidak” pada praktik yang salah, meski itu merepotkan. Menolak memberi “pelicin” mungkin memperlambat urusan, tapi setiap penolakan adalah bentuk perlawanan kita terhadap budaya busuk yang mengakar.

Akan tetapi, perjuangan tidak boleh berhenti di sini. Kejujuran individu saja tidak cukup. Kita juga harus memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas sistemik dari pemangkasan birokrasi berbelit, publikasi biaya layanan secara terbuka, hingga perlindungan bagi pelapor (whistleblower).

Kemarahan publik terhadap koruptor besar seharusnya tidak berhenti di media sosial, tetapi menjadi tekanan nyata untuk membenahi sistem dengan mendukung gerakan antikorupsi, ikut mengawasi penggunaan anggaran publik, dan memilih pemimpin yang berintegritas.

Dari Kemarahan ke Keberanian

Kemarahan terhadap koruptor penting, tapi tidak cukup. Ia hanya menjadi teriakan kosong jika tak diiringi keberanian untuk membersihkan diri sendiri. Korupsi
besar dimulai dari kompromi kecil. Dan bangsa ini baru akan sembuh ketika kita berhenti menganggap kejujuran sebagai tindakan nekat.

Perang melawan korupsi tidak dimulai dari ruang sidang. Ia dimulai dari keputusan pribadi dan kolektif untuk tidak menjadi bagian dari sistem itu.

Karena sebelum kita menuntut pejabat bersih, barangkali yang paling perlu kita bersihkan lebih dulu adalah cermin di depan kita sendiri. []

Previous Post

Sabirin Terpilih Ketua MAA Kabupaten Aceh Barat Daya Periode 2026-2030

Next Post

Bupati Rencanakan Pembangunan Jembatan Naleung

Next Post
Bupati Rencanakan Pembangunan Jembatan Naleung

Bupati Rencanakan Pembangunan Jembatan Naleung

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Bahas Perlindungan Jaminan Sosial, BPJAMSOSTEK Temui Wali Nanggroe

Bahas Perlindungan Jaminan Sosial, BPJAMSOSTEK Temui Wali Nanggroe

10/10/2025
Ohku, Ada 19 Ribu Warga Aceh Alami Gangguan Jiwa

Ohku, Ada 19 Ribu Warga Aceh Alami Gangguan Jiwa

10/10/2025
SMAN 2 Timang Gajah Gelar Ajang Literasi Ke-3 Tahun 2025

SMAN 2 Timang Gajah Gelar Ajang Literasi Ke-3 Tahun 2025

10/10/2025
Abu Faisal Ajak Pelaku Usaha Urus Sertifikasi Halal

Abu Faisal Ajak Pelaku Usaha Urus Sertifikasi Halal

10/10/2025
Ohku, Oknum Pria di Lhoksukon Rela Mencuri Demi Sabu

Ohku, Oknum Pria di Lhoksukon Rela Mencuri Demi Sabu

10/10/2025

Terpopuler

[Opini] Mengapa Kita Mudah Marah pada Koruptor, tapi Diam pada Kolusi Sehari-hari?

[Opini] Mengapa Kita Mudah Marah pada Koruptor, tapi Diam pada Kolusi Sehari-hari?

09/10/2025

Ohku, Semua Lapak Rakyat hingga Tenda Bazar ‘Akan Berbayar’ di MTQ Pidie Jaya

Imum Mukim Se – Aceh Besar Gelar Duek Pakat Raya ke 6

PLN Berikan Penjelasan Terkait Permohonan Kompensasi dari DPMPTSP Aceh, Simak Penjelasannya

Sabirin Terpilih Ketua MAA Kabupaten Aceh Barat Daya Periode 2026-2030

  • Home
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2022 atjehwatch.com

No Result
View All Result
  • Nanggroe
    • Lintas Barat Selatan
    • Lintas Tengah
    • Lintas Timur
      • Nasional
  • Internasional
  • Saleuem
  • Feature
  • Olahraga
  • Sejarah
  • Sosok
  • Opini
  • Cerbung
  • Foto
  • Video

© 2022 atjehwatch.com