Oleh Adhilla Zakiah. Penulis adalah mahasiswi Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
SEJAK 2025, pemerintah pusat telah resmi mengimplementasikan Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) secara penuh di seluruh kementerian dan lembaga.
Kebijakan ini bukan sekadar pergantian aplikasi, tetapi sebuah langkah strategis menuju transformasi digital dalam pengelolaan keuangan negara.
Pertanyaan yang wajar muncul di benak publik adalah: apakah penerapan penuh SAKTI benar-benar akan membawa perubahan yang lebih baik bagi tata kelola keuangan pemerintah?
Bila kita menengok sejarahnya, pengelolaan keuangan negara sebelumnya banyak bergantung pada sistem manual atau aplikasi terpisah yang tidak selalu terintegrasi.
Hal ini menimbulkan berbagai persoalan klasik seperti data tidak sinkron, potensi keterlambatan penyusunan laporan, hingga celah terjadinya inefisiensi dan praktik penyalahgunaan anggaran.
SAKTI hadir dengan janji besar, yaitu satu sistem terpadu, dari perencanaan, pelaksanaan, pencatatan, hingga pelaporan, yang secara langsung terkoneksi dengan SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara).
Integrasi inilah yang membuat SAKTI digadang-gadang menjadi “game changer” bagi akuntansi pemerintahan di Indonesia.
Namun, penerapan penuh sebuah sistem digital tidak serta-merta bebas dari masalah. Di lapangan, masih banyak aparatur yang menghadapi kendala teknis seperti keterbatasan jaringan internet, kurangnya literasi digital, hingga beban adaptasi dengan menu dan fitur baru.
Pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah sistem secanggih apa pun bisa berjalan baik tanpa sumber daya manusia yang siap?
Tantangan terbesar bukan hanya pada teknologi, tetapi pada kesiapan mental, budaya kerja, dan penguatan kompetensi aparatur.
Dari sisi positif, implementasi penuh SAKTI tentu membawa harapan besar. Pertama, akuntabilitas dan transparansi keuangan negara akan meningkat karena seluruh proses tercatat secara real time dan sulit dimanipulasi.
Kedua, proses penyusunan laporan keuangan, baik LRA, Neraca, hingga laporan operasional, dapat dilakukan lebih cepat dan akurat.
Ketiga, integrasi dengan sistem pengawasan internal BPKP maupun audit BPK akan semakin mudah karena data sudah terdigitalisasi.
Artinya, ruang untuk praktik curang seperti mark-up anggaran, laporan ganda, atau “buku bayangan” semakin kecil.
Namun demikian, publik juga berhak khawatir bila penerapan penuh SAKTI hanya menambah beban administratif tanpa disertai pembenahan sistem birokrasi.
Jika aparatur hanya dipaksa sekadar “menginput” data tanpa memahami substansi akuntansi pemerintahan, maka SAKTI berisiko menjadi sekadar “alat pencatat” yang indah di atas kertas, tetapi tidak memberi nilai tambah nyata bagi tata kelola anggaran.
Di sinilah pentingnya pendampingan, pelatihan berkelanjutan, dan evaluasi periodik dari Kementerian Keuangan agar tujuan utama sistem ini tercapai.
Lebih jauh, penerapan penuh SAKTI juga harus kita kaitkan dengan konteks besar reformasi birokrasi dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Transparansi anggaran adalah syarat mutlak bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Bila dana publik bisa dipantau secara terbuka, peluang penyimpangan semakin kecil, dan alokasi anggaran lebih tepat sasaran.
Dalam hal ini, SAKTI bisa menjadi katalis menuju keuangan negara yang efisien, bersih, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Akhirnya, menjawab pertanyaan “akankah menjadi lebih baik.”
Saya percaya jawabannya ya, dengan catatan. Penerapan penuh SAKTI memang langkah maju yang patut diapresiasi, tetapi keberhasilan sejatinya bergantung pada komitmen semua pihak yaitu pemerintah pusat, aparatur pengguna, lembaga pengawas, hingga masyarakat yang ikut mengawal transparansi.
Teknologi hanyalah alat, namun manusialah yang menentukan apakah alat itu membawa manfaat atau sekadar menjadi simbol digitalisasi semu.
Dengan kata lain, SAKTI bisa menjadikan tata kelola keuangan negara lebih baik, jika dibarengi dengan peningkatan kapasitas SDM, kesungguhan pengawasan, dan budaya kerja yang jujur serta akuntabel.
Tanpa itu semua, sistem secanggih apa pun hanyalah perangkat mati yang tak mampu menjawab persoalan klasik birokrasi kita.