Oleh Abu Dipasi. Penulis adalah salah seorang mantan simpatisan GAM serta korban konflik asal Pidie.
KONON almarhum Wali Hasan Tiro pernah berkata bahwa Aceh akan merdeka disaat semua orang tidak lagi yakin dengan perjuangan ke-Aceh-an itu sendiri. Saat semua orang melupakan perjuangan dan tak lagi yakin akan merdeka. Maka saat ini tulang kemerdekaan akan datang untuk rakyat Aceh.
Hal itu disampaikan Hasan Tiro kepada para ‘anak ideolog’ nya di Tripoli. Peunutoh tersebut kemudian diwariskan secara turun temurun dari para Mualimin Eks Tripoli hingga simpatisan di Aceh.
Makanya, gelora perlawanan terus membara di Aceh. Di era konflik Aceh, terutama fase 1998 hingga 2005, semangat memperjuangkan kemerdekaan Aceh tak pernah meredup. Meskipun tentara GAM digempur secara habis-habisan.
Kondisi ini karena anak ideologi Hasan Tiro yakin bahwa kemerdekaan Aceh akan datang suatu saat nanti. Mereka lebih memilih meninggal dalam pertempuran dibanding menyerah dengan cap pengkhianat.
“Merdeka akan datang, saat semua orang tak lagi percaya dengan Aceh Merdeka.”
Kalimat inilah yang terulang diulang-ulang semasa fase konflik di Aceh. Ketika konflik, sebahagian besar para ideolog menyakini bahwa suatu saat Aceh akan merdeka. Mungkin sama seperti peunutoh Wali Hasan Tiro seperti di awal tulisan, hal ini pula yang menyebarkan Aceh belum merdeka saat itu.
Dari Konflik ke Damai
Perubahan besar pola perjuangan Aceh mulai terlihat jelas pasca damai. Jika kita mau jujur, hal ini jauh berbeda dengan apa yang diamanahkan Wali Hasan Tiro.
Perjanjian di Helsinki sendiri tak menjadi rujukan hukum resmi untuk kewenangan Aceh. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh lebih menjadikan UUPA sebagai UUD-nya Aceh. Hal ini mengacu pada statemen sejumlah tokoh nasional terkait kekhususan Aceh, terutama saat polemic sengketa 4 Pulau di Singkil, antara Aceh dengan Sumatera Utara.
Dari sisi sikap, elit eks GAM yang kini duduk di bangku eksekutif dan legislative Aceh, juga terkesan abai dengan MoU Helsinki. Mereka terkesan memilah poin-poin yang ‘menguntungkan’ dalam MoU Helsinki untuk disuarakan. Kemudian abai dengan saat poin lainnya dalam MoU Helsinki hingga tergerus karena kepentingan politik. Salah satu poin ini seperti adanya surat rekomendasi untuk para geuchik yang menggugat ke MK soal masa perpanjangan jabatan.
Sikap inkonsisten terhadap MoU Helsinki dari elit Aceh membuat MoU Helsinki terpinggirkan. Hal ini pula yang membuat pemerintah pusat tak lagi memandang MoU Helsinki sebagai sesuatu yang skaral untuk Aceh.
Selain itu, elit Aceh juga mulai terang-terangan menyatakan ‘mimpi kemerdekaan’ Aceh telah dilupakan.
Jejak digital statemen tersebut, awalnya diungkapkan oleh Doto Zaini Abdullah di awal-awal menjabat sebagai Gubernur Aceh. Kemudian terbaru, juga diungkapkan oleh Wakil Gubernur Aceh Fadhulullah.
Di awal damai, kalimat melupakan merdeka mungkin akan sangat berat untuk terucap. Namun kini, kalimat tersebut sangatlah standar dan biasa dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Maka kembali lagi seperti kalimat yang disampaikan oleh Wali Hasan Tiro, jika keyakinan tersebut benar adanya, maka mungkin kondisi hari ini adalah salah satu tanda Aceh bahwa akan segera merdeka.
Dimana, jangankan masyarakat Aceh pada umumnya, para pengikut Hasan Tiro sendiri tak lagi yakin dengan apa yang mereka perjuangan. Mengubah Burag Singa dengan Burung Garuda.
20 Tahun Damai Aceh
Saat ini damai Aceh hampir mencapai dua dekade. Tapi jika kita mau jujur, tak ada yang special dengan apa yang diraih Aceh pasca damai.
Damai Aceh hanya mengubah para penguasa di Aceh serta menciptakan para ‘Orang Kaya Baru.’ Keberadaan dana Otsus yang besar belum meninggalkan jejak yang berarti untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan bendera hanya komuditas politik yang hanya muncul saat kampanye.