PRIA paruh baya itu terdiam. Ia berkali-kali menarik rokoknya dalam dalam. Asapnya mengepung seisi warung kopi. Sebelumnya ia bicara banyak soal sejarah Peureulak. Namun berubah jadi pendiam saat ditanya soal tragedi Arakundo.
Beberapa pria muda di sekelilingnya juga terdiam. Kebetulan saat itu kami sedang berada di salah satu Warkop dekat jembatan Arakundo, akhir Oktober 2019.
“Tak mungkin saya melupakan tragedi itu. Biasanya kami mancing ikan, tapi hari itu kami mancing mayat dalam karung,” kenangnya.
Ia tidak mau ditulis nama. Dua puluh tahun lebih berlalu, dan Aceh kini berdamai, namun horor masa lalu masih begitu membekas di-ingatnya.
“Karung-karung itu berisi mayat. Ada batu yang di isi di dalamnya agar tak mengapung,” ujar dia sambil menarik nafas dalam-dalam.
+++
Dari berbagai sumber, tragedi pembantaian di Idi Cut, atau dikenal luas dengan nama Tragedi Arakundo, adalah sebuah peristiwa pembantaian sipil yang terjadi pada 4 Februari 1999 di Idi Cut, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.
Peristiwa yang diduga dilancarkan oleh aparat ini menewaskan tujuh orang dan melukai ratusan orang lainnya. Kasus ini diduga merupakan aksi balasan pasca menghilangnya sejumlah anggota TNI pada 29 Desember 1998 usai sweeping dari sejumlah pria bersenjata di lokasi yang tak jauh di Idi.
Kemudian pada 2 Februari 1999, warga desa Matang Ulim, Darul Aman, Aceh Timur, bersama-sama menyiapkan pentas kegiatan di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Konon, di tempat itu, akan berlangsung ceramah Aceh Merdeka.
Berdasarkan catatan, sejumlah tentara sempat mengobrak-abrik lokasi acara pada siang harinya. Mereka juga sempat memukul panitia serta para pemuda yang membuat panggung serta para pria lainnya yang berada di lokasi.
Namun tragedi itu ternyata tak membuat acara batal. Malam harinya, ribuan masyarakat tetap memadati lokasi acara.
Kemudian, sekitar pukul 00.45 WIB, warga melaporkan adanya pelemparan batu dari arah Koramil setempat, yang kebetulan berada di jalan pulang dari lokasi dakwah tadi. Sekitar pukul 01.00 WIB kembali terdengar suara tembakan. Sejumlah warga dilaporkan roboh di tempat.
Dikutip dari berbagai sumber, setelah gelombang tembakan pertama, terjadi lagi penembakan ke arah massa. Setelah banyak massa berjatuhan, seorang saksi mata mendengar anggota TNI mengatakan, “Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke sungai.”
Beberapa korban lainnya menyebutkan para pelakunya adalah anggota Batalyon Linud 100. Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang sudah tewas maupun yang terluka. Tetapi ada juga beberapa korban terluka yang tidak terangkut karena bersembunyi di selokan samping jalan.
Sekitar pukul 03.00 WIB, banyak saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan Sungai Arakundo. Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara. Batu besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke Sungai Arakundo.
Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir oleh tentara. Pasir tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk di dekat jembatan.
Pada 4 Februari pukul 08.00-12.00 WIB, tentara masih bertahan di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut. Penembakan acak secara membabi buta pun masih terjadi sesekali. Hari itu juga sampai keesokan harinya, penduduk desa melakukan pencarian di sungai dan berhasil mengangkat enam karung berisi jenazah korban. Jasad korban ketujuh yang ditembak mati ditemukan di dalam kendaraannya. Puluhan warga sipil terluka akibat insiden ini.
Sebanyak 58 orang ditangkap dan kabarnya disiksa saat ditahan di penjara. Mereka semua dilepaskan tanggal 5 Februari.
Tiga orang yang dituduh sebagai penceramah dalam kegiatan di Simpang Kuala sekaligus anggota GAM ditangkap aparat keamanan dan diadili. Pasca-insiden ini, 13 orang dilaporkan hilang dan tidak pernah ditemukan lagi.
Pencarian korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak lainnya tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu.
+++
Tragedi Arakundo kini sudah berlalu hampir 21 tahun. Namun ingatan warga terhadap tragedy ini masih membekas.
“Itu pemandangan yang susah dilupakan tapi sulit untuk diceritakan. Walau di masa damai seperti sekarang,” ujar pria paruh baya tadi.
“Saya hanya berharap tragedy seperti ini tidak lagi terulang di manapun kelak. Ini ingatan paling suram,” katanya. []