SAKDIAH memeluk Si Kecil. Ia kasihan dengan anaknya itu yang mengalami kemalangan. Si Kecil memang jarang bertemu dengan ayahnya sejak lahir.
Ia hanya bertemu dengan ayahnya beberapa kali. Jika pun bertemu, tak lebih dari dua hari. Ayahnya kemudian kembali pergi untuk bergerilya. Meninggalkan mereka berbulan-bulan tanpa kejelasan, apakah masih hidup atau syahid dalam perang. Setidaknya itu yang diyakini oleh suaminya dan orang-orang yang menyertainya selama ini.
Konflik dan dendam membuat keluarganya tak pernah utuh. Namun Sakdiah sendiri yakin bahwa ada banyak keluarga yang mengalami nasib lebih buruk darinya. Untuk itu, ia harus bertahan.
“Kamu pasti akan kembali ke sekolah nak. Ayahmu pasti menjemput kita dan pulang bersama,” ujar Sakdiah kemudian.
Si Kecil tersenyum. Ia kemudian mengangguk berulangkali.
“Bang Budi, ajari aku membaca. Aku tidak mau diledeki sama Bang Man lagi,” ujarnya kemudian. Bang Man yang dimaksud adalah Abdurrahman. Bang Man adalah panggilan Si Kecil untuk abangnya yang tertua.
“Bang Man dan ayah pasti pulangkan?” tanya Si Kecil lagi.
Budi mengangguk. Demikian juga dengan Sakdiah.
“Masuk ke rumah dulu. Aku khawatir tentara tadi kembali,” kata Nek Minah tiba-tiba kembali menimpali.
Wanita tua itu kemudian bergegas masuk. Sakdiah dan anaknya mengekor dari arah belakang.
Di dalam rumah, beberapa alat dapur terlihat berserakan di lantai yang beralas tanah. Sakdiah memberi isyarat kepada Budi untuk membawa adiknya masuk ke kamar. Remaja itu mengangguk. Ia menggendong adiknya ke kamar untuk tidur.
Saat kamar tidur terkunci, Sakdiah membantu Nek Minah membersihkan pecahan piring yang berserakan di lantai tanah. Mereka berkerja dengan cekatan.
“Maaf, jika kedatangan kami membuat rumah Nek Minah berantakan seperti ini. Saya tak bisa membalas kebaikan Nek Minah ini,” kata Sakdiah.
Nek Minah terdiam. Namun beberapa menit kemudian justru tersenyum.
“Kita ini lagi konflik. Ada atau tidak kalian pun, kalau lagi naas, ya tetap seperti sekarang,” ujarnya lagi.
Suami Nek Mirah sudah lama almarhum. Anak perempuannya kini sekolah di Banda Aceh. Sedangkan anak laki-lakinya, sama seperti kebanyakan pemuda lainnya di Simpang Ulim, hijrah ke Malaya.
Konflik tak aman bagi pria dewasa untuk tinggal di kampung. Mereka sering menjadi sasaran jika kontak senjata terjadi. Kondisi ini akhirnya membuat para pria di Simpang Ulim bergabung dengan tentara nanggroe. Selebihnya keluar untuk merantau hingga ke Malaya.
Anak lelaki Nek Minah mengambil pilihan terakhir tadi. Tinggal Nek Minah seorang diri seperti sekarang.
“Aku senang bisa membantumu, Sakdiah. Minimal di rumahku jadi ramai. Aku hanya tak menyangka jika ada cuak yang melaporkan keberadaan kalian di sini,” ujar Nek Minah kemudian. Ia tertunduk lesu.
Sakdiah mendekati perempuan tua itu. Biarpun baru sehari dikenalnya, orangtua itu sudah seperti keluarganya.
“Mereka tak punya pilihan Nek Minah. Mereka juga butuh kenyamanan,” kata Sakdiah. Ia memeluk wanita tua itu sebentar dan kemudian melanjutkan kerjanya untuk mengutip pecahan piring di tanah.
“Kami mungkin harus segera pindah dari sini. Tentara itu cepat atau lamban akan kembali. Saya tak ingin Nek Minah menjadi korban hanya karena membantu kami,” kata Sakdiah lagi kemudian.
[Bersambung]