+++
SAKDIAH tumbang usai mencuci piring. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Untung kepalanya tak terbentur dengan tembok warung.
Rukaiyah yang berada di dekatnya terlihat panik. Ia segera memanggil suaminya dan beberapa pekerja lainnya untuk mengantar Sakdiah ke Pukesmas terdekat.
Buyung sendiri bertindak sigap. Ia segera menyalakan mobil dan meluncur ke Puskesmas Bireuen.
Sakdiah sendiri baru sadar setelah beberapa jam dirawat. Ia divonis menderita lambung kronis. Namun itu baru dugaan awal. Perawat di Puskesmas setempat meminta Buyung untuk memeriksa Sakdiah ke RS yang memiliki alat lebih lengkap.
Namun ketika informasi tadi disampaikan ke Sakdiah, wanita itu justru terdiam dan kemudian bersikap santai.
“Sudah tak perlu dibesar-besarkan. Mungkin aku cuma kelelahan akibat kurang tidur,” ujarnya kepada Buyung.
Tapi Buyung sendiri sudah menganggap Sakdiah sebagai keluarganya. Ia tak percaya 100 persen dengan apa yang disampaikan oleh wanita yang dikenalnya baik hati serta santun tersebut. Diam-diam, Buyung juga mengetahui masa lalu Sakdiah dan itu membuatnya salut dengan wanita tersebut.
“Kalau begitu kakak istirahat saja beberapa hari di sini. Jangan khawatir dengan Ibnu. Nanti aku jemput dia, sekaligus dengan dara anakku. Aku akan ke rumah kakak untuk ambil baju dan keperluan lain. Ibnu biar tinggal denganku selama kakak dirawat,” ujar Buyung.
“Kakak tak perlu membantah. Ini semua demi kebaikan kakak. Kakak sudah kuanggap keluarga. Semua kebutuhan rumah sakit, aku yang tanggung,” katanya lagi.
Perhatian Buyung dan keluarga membuat Sakdiah luluh. Ia kemudian menuruti perkataan Buyung untuk menjalani perawatan di Puskesmas.
Seperti janjinya, Buyung menjemput Ibnu dan Dara di sekolah dan kemudian mengambil berbagai kebutuhan di rumah untuk di antar ke Puskesmas. Namun jelang sore hari, Rukaiyah yang diminta untuk menjaga Sakdiah, kembali memberi informasi bahwa Sakdiah kembali muntah darah berulangkali.
Buyung akhirnya mengulur waktu untuk mengantar Ibnu ke tempat perawatan Sakdiah. Ia tak ingin bocah itu panic dan kemudian menangis. Apalagi, Sakdiah adalah orangtua tunggal yang dimiliki oleh bocah itu.
Jika keadaan Sakdiah memburuk, Buyung berencana mengadopsi Ibnu. Wacana itu sudah beberapa kali disampaikannya kepada Sakdiah semasa sehat, tapi perempuan itu menolak tawaran tersebut karena tak ingin berpisah dengan satu satunya anak yang dimilikinya kini.
Ibnu sendiri dekat dengan Dara, anak perempuan satu-satunya yang dimiliki Buyung dengan Rukaiyah. Keduanya hanya berselang satu tahun.
“Kalian di rumah saja. Nanti kalau mamakmu sudah sembuh, baru Om antar ya. Tidak lama kok,” bujuk Buyung ketika Ibnu minta ikut. Setelah beberapa kali merengek, akhirnya Ibnu juga luluh dan menuruti permintaan bos ibunya itu.
Bagi Ibnu, lelaki itu sudah seperti keluarganya sendiri. Pria itu juga yang selama ini memberi uang jajan kepada dirinya diam-diam.
Namun Ibnu juga khawatir dengan kesehatan ibunya. Perempuan yang dalam setiap doa di tengah malamnya selalu memohon kesehatan dan umurnya yang panjang untuk melihat dirinya tumbuh besar.
Meskipun baru kelas 2 MIN, Ibnu tahu bahwa beban yang dipikul ibunya tersebut terlalu berat, terutama pasca rentetan kenjadian yang mereka alami.
[Bersambung]