Oleh Munawar Rizki Jailani, Lc., M.Sh., Ph.D
Islam sebagai agama yang syumul mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Sang pencipta, berhubungan dengan manusia dan juga berhubungan dengan berbagai makhluk lain termasuk alam sekitar. Dalam konteks yang berhubungan dengan manusia, Islam mengatur perkara-perkara yang bersifat transaksional di antaranya adalah pengharaman riba.
Riba merupakan penyakit klasik yang masih dipraktikkan secara meluas dalam masyarakat, bahkan keberadaannya telah ada sebelum Islam datang. Sehingga tidak heran jika muncul istilah “riba jahilliyah”, yaitu sebuah perilaku riba yang berkembang pada masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dengan membayar lebih dari pokok hutang. Oleh karena semua bentuk riba memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup umat manusia maka Islam menggolongkan sebagai dosa besar dan wajib ditinggalkan.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 275, Allah SWT telah berfirman bahawa orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri kecuali seperti orang kerasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Begitu juga dengan Hadith Nabi SAW yang melarang tujuh hal yang membinasakan, di antaranya larangan memakan riba. Dalam hadith tersebut Baginda Nabi mensejajarkan amalan makan riba dengan dosa besar lainnya seperti syirik kepada Allah dan membunuh.
Oleh kerana riba merupakan perbuatan yang dilarang dalam agama, maka segala kegiatan yang ada unsur riba hukumnya haram. Untuk menghindari dan menjauhkan ummat Islam dari bertransaksi dengan riba dalam perbankan muncullah ide untuk memuallafkan (mengislamisasikan) sistem perbankan. Sistem perbankan sendiri merupakan kebutuhan penting yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan ummat pada zaman modern sekarang ini.
Bank “Muallaf”
Bank sebenarnya istilah yang dipakai untuk sebuah lembaga yang yang bergerak dalam bidang perbankan yang menarik dan mengeluarkan uang dalam masyarakat, terutama memberikan kredit kepada masyarakat dan jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
Adapun kata muallaf merupakan termionologi Arab yang berakar dari allafa yang berarti memikat atau menghubungkan. Kata muallaf sendiri berarti orang kafir yang memiliki ikatan atau dihubungkan hatinya dengan agama Islam. Istilah ini kemudian semakin popular dalam beberapa tahun terakhir di tengah gelombang orang masuk Islam baik di dalam maupun di luar negeri. Gelombang masuk Islam atau Islamisasi bukan hanya terjadi pada manusia saja akan tetapi juga merambah pada ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge). Salah satu dampak dari Islamisasi ilmu pengetahuan terutama dalam bidang perbankan, lahirlah bank “muallaf” atau bank syariah.
Secara sederhana bank Syariah merupakan hasil dari Islamisasi (pemuallafan) sistem perbankan konvensional menjadi bank syariah dengan menghilangkan unsur-unsur haram yang dipratikkan dalam sistem perbankan konvensional, seperti bunga (interest), judi (gambling) dan ketidakpastian (uncertainty). Usaha Islamisasi sistem perbankan pertama sekali dilakukan di Mesir dengan didirikan bank syariah pertama di dunia di Mit Ghamr Local Saving Bank pada tahun 1963.
Di tanah air, Islamisasi perbankan mulai bersamaan dengan adanya deregulasi perbankan pada tahun 1983, pemerintah berencana untuk menerapkan “sistem bagi hasil” dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah. Pada tahun 1990 perkembangannya terlihat semakin massif dengan didirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Usaha ini terus berkembang ke seluruh penjuru Indonesia.
Di Aceh sendiri usaha Islamisasi perbankan sudah dilakukan pada masa Gubernur Ibrahim Hasan dengan mendirikan BPRS (Bank Pekreditan Rakyat Syariah) Hareukat di kawasan Lambaro pada tahun 1991. Usaha ini terus berkembang dengan didirikan bank-bank syariah di seluruh penjuru Aceh. Usaha yang boleh dikatakan paling berani adalah menkonversi bank Aceh kepada bank syariah pada tahun 2016 dan pengesahan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada tahun 2019 yang mewajibkan lembaga keuangan yang beropersi di Aceh berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Usaha ini bila dilihat dari segi bisnis mungkin dapat mengurangi keuntungan atau laba bank-bank tersebut karena terbatasnya usaha bank-bank tersebut kepada prisnsip-prinsip syariah saja.
Menolong “Bank Muallaf”
Dalam sejarah Islam, agama ini bermula dengan peringkat muallaf. Setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan diangkat oleh Allah SWT menjadi Rasul, maka seluruh pengikut Beliau digelar dengan muallaf, kecuali Saidina Ali Abi Talib RA karena beliau memeluk Islam ketika masih di bawah umur yakni ketika usia remaja.
Kehidupan seorang muallaf tidaklah mudah. Dalam menjalankan kehidupan baru mereka harus beradaptasi dan menyesuakan diri dengan hal-hal baru. Kalau dulu boleh makan babi dan minum arak, setelah memeluk agama Islam hal tersebut sudah diharamkan. Begitu juga dalam sektor perbankan, bank syariah yang dulunya dapat mendepositokan atau mengkreditkan modalnya pada usaha-usaha yang tidak sesuai dengan syariah dengan mengharapkan keuntungan yang kebih besar semata-mata, akan tapi setelah berpindah ke bank syariah mereka dibatasi ke usaha-usaha yang sesuai dengan prinsip syariah saja.
Oleh karena itu, seruan dan dukungan membantu bank Syariah ini hanya bermaksud untuk menyegarkan kembali pikiran kita dalam rangka berkontribusi yang lebih baik bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia terutama di Aceh. Perbankan syariah yang hadir ditengah-tengah kita sekarang ini ibarat orang yang baru masuk Islam, dengan segala kelebihan dan kekuranganya perlu mendapatkan dukungan dan support agar saudara baru kita terus dapat exis dalam rangka untuk menghadirkan solusi alternatif dari sistem ribawi yang sudah lama membelenggu.
Sebagaimana membantu para muallaf, bank syariah juga perlu mendapatkan bantuan dan kontribusi dari kita sebagai rakyat Aceh yang kental dengan budaya Islam. Menurut hemat penulis ada beberapa hal yang dapat kita berikan dalam usaha menolong bank Syariah. Di antaranya; bagi individu yang diberikan kelebihan harta dengan menyimpan uang mereka di bank-bank syariah. Bagi pihak lembaga – baik pemerintah maupun swasta – dapat membantu perbankan syariah dengan membayar gaji pegawai atau karyawan mereka melalui bank-bank syariah. Hal ini tentu dapat menyehatkan keuangan perbankan syariah di tengah persaingan sektor perbankan yang semakin ketat. Bagi pihak yang bekerja di perbankan syariah sendiri perlu melakukan inovasi-inovasi baru dalam rangka melahirkan produk-produk perbankan syariah yang lebih produktif dan berdaya saing tinggi dengan perbankan konvensional serta tetap menjaga diri agar terhindar dari unsur-unsur yang diharamkan dalam Islam.
Bagi mereka yang memiliki kepakaran dalam bidang muamalat Islam agar memberikan saran dan masukan agar perkembangan Islamisasi perbankan syariah berjalan dengan lebih baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kepada mereka yang Allah dititipkan amanah kekuasaan untuk melahirkan aturan-aturan yang pro Islamisasi sektor perbankan, sehingga nantinya negeri kita terlepas dari praktek-praktek riba. Justru peran semua pihak perlu dimobilisasikan secara penuh agar sistem perbankan syariah di Aceh terus mantap dan keinginan menjadikan Aceh sebagai baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur bisa diwujudkan.
Penulis adalah Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh