Jakarta – Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) menyebut ada intimidasi yang dilakukan aparat terhadap warga sekitar di Proyek Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Peneliti KPPII Sayyidatiihayaa Afra mengatakan temuan itu didapati usai pihaknya melakukan survei yang melibatkan 105 masyarakat terdampak proyek. Survei dilaksanakan pada Desember 2022 hingga Januari 2023.
“Survei terhadap responden yang sama menemukan pola intimidasi sistematis yang dilakukan aparat keamanan Indonesia dan aktor negara di Mandalika,” kata Sayyidatiihayaa dalam keterangan resmi, Selasa (11/4).
Ia memaparkan 70 persen responden merasa dipaksa selama proses pembebasan lahan. Kemudian 84 persen responden terkena dampak dari pengerahan aparat keamanan Indonesia yang berlebihan sepanjang balap motor internasional di sirkuit Mandalika.
“Termasuk pembatasan gerak yang ketat, penahanan orang-orang yang mengkritik kekerasan militer, dan memaksa masuk ke rumah-rumah warga untuk menyerahkan tanah mereka,” ujarnya.
Berdasarkan data kuantitatif maupun kesaksian, kata Sayyidatiihayaa, masyarakat terdampak proyek terus bergumul dengan dampak sosial ekonomi yang parah dari proyek pembangunan yang dipaksakan berjalan tanpa persetujuan mereka.
Survei yang sama juga menunjukkan 79 persen responden mengaku pernah mengalami kesulitan keuangan akibat proyek Mandalika.
“Hilangnya tanah, akses ke laut, dan sumber daya alam telah menyebabkan orang-orang yang terkena dampak proyek terjebak dalam jerat utang demi memberi makan keluarga dan anak-anak mereka yang putus sekolah. Dampak berlapis pun secara khusus dialami perempuan,” jelasnya.
Komisioner Komnas HAM Prabianto Mukti Prabowo menyatakan lembaganya mengakui sejak awal ada dugaan pelanggaran HAM dalam pembangunan proyek Mandalika.
“Kami sejak awal sudah menduga ada pelanggaran HAM dalam kasus mandalika ini,” tuturnya.
Ia menyatakan Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi guna menanggapi kasus tersebut pada 2020 lalu. Saat itu, Komnas HAM mendapat aduan yang berisi permintaan untuk memberikan perlindungan hukum atas berbagai intimidasi yang terjadi.
“Maka ketika itu, Komnas mengeluarkan rekomendasi salah satunya meminta pemerintah dan ITDC menjamin adanya solusi alternatif yang sesuai bagi warga yang telah/akan kehilangan lahannya, serta menghormati hak-hak warga dan menghindari adanya penggunaan/pelibatan aparat keamanan,” kata Prabianto.
Menurutnya, pengerahan aparat sempat berkurang saat itu, namun belakangan eskalasinya kembali meningka terutama menjelang gelaran internasional seperti Moto GP dan WSBK.
“Memang terus terang ini salah satu kelemahan kami, rekomendasi komnas HAM tidak memiliki daya paksa,” ujarnya.