Banda Aceh- Pengadilan Negeri (PN), Jakarta Pusat, memanggil Ketua DPR- RI, Puan Maharahi, selaku tergugat dan Ugek Farlian, anggota DPRK Simeulue selaku penggugat dalam perkara Nomor 830/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst, surat panggilan tersebut, dikirimkan ke Kuasa Hukum Ugek Farlian, Safaruddin, S.H., M.H. melalui email untuk menghadiri persidangan yang ditetapkan pada Selasa, (1/2/2024) mendatang.
“Ya, kami sudah menerima panggilan dari PN Jakarta Pusat atas gugatan yang diajukan oleh Ugek Farlian kepada Ketua DPR RI di PN Jakarta Pusat untuk menghadiri sidang pada 2 Januari tahun depan,” terang Safar, selaku Kuasa Hukumnya Ugek Farlian, Jum’at (22/12/2023).
Pada (13/12) lalu, Anggota DPRK Simeulue, Ugek Farlian, menggugat Ketua DPR RI, Puan Maharani, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan tersebut, kata safar, terkait dengan perbuatan DPR RI yang tidak menjalankan perintah UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh.
Adapun alasan Ugek mengajukan gugatan tersebut, karena dirinya selaku anggota DPRK Simeulue merasa dirugikan dari tidak dilaksanakannya perintah UUPA dan Perpres 75/2008 tersebut, seperti mencabut kewenangan Kabupaten di Aceh dalam mengelola pelabuhan yang telah di atur dalam pasal 254 UUPA. Kemudian, kewenangan tersebut dicabut dengan disahkannya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dimana, lanjut dia, dalam pengesahan UU 23/2014 tersebut, DPR tidak menjalankan perintah UUPA dan Perpres 75/2008 dengan berkonsultasi dan meminta pertimbangan DPRA terlebih dahulu ketika dalam UU yang dibahas terkait langsung dengan kewenagan Aceh.
“Gugatan ini terkait dengan kepatuhan hukum dari DPR selaku pembuat UUPA dalam menjalankan perintah UUPA itu sendiri, dalam UUPA yang kemudian ditegaskan kembali oleh Perpres 75/2008 diperintahkan kepada DPR agar melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA jika ada materi dalam pembahasan suatu Undang-Undang itu berkaitan langsung dengan kewenangan Aceh, seperti kewenangan Kabupaten mengelola Pelabuhan yang telah diberikan dalam pasal 254 UUPA. Kemudian, di cabut dengan UU 23/2014, dan proses pengesahan UU 23/2014 ini tidak melibatkan DPRA selaku lembaga yang harus dilibatkan karena materi dalam UU tersebut berkaitan langsung dengan Aceh,” kata Safar, jelaskan subtansi gugatan tersebut.