Banda Aceh sepertinya sudah kehilangan identitasnya sebagai ibukota Serambi Mekkah. Provinsi yang menerapkan pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Ketika pemerintah meningkatkan implementasi Syariah Islam ke bidang mualamah di Aceh, tapi pengawasan bidang busana justru mengalami kelonggaran. Paling tidak ini yang saya rasakan dalam 5 tahun terakhir di Banda Aceh.
Perkenalkan, nama saya Darlia, seorang ibu muda yang menetap di Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Tulisan ini mungkin lebih ke soal kegelisahan saya terkait maraknya para lelaki yang berjalan-jalan di Banda Aceh dengan celana pendek. Padahal kita tahu bahwa aurat lelaki itu dari pusat hingga di bawah lutut.
Selama 5 tahun terakhir, saya merasakan benar bahwa pengawasan syariat Islam, terutama busana, mengalami kemunduran di Banda Aceh. Dulu yang sering dipersoalkan adalah busana Wanita, tapi selama 5 tahun terakhir, saya merasakan justru kebalikannya.
Mendapati pria muda yang memakai celana pendek di Banda Aceh seperti hal yang sudah lazim. Mereka dengan mudah ditemui di cafe-cafe yang ada di Banda Aceh dan pusat pembelanjaan. Apalagi jika akhir pekan.
Para pria yang bercelana pendek ini rata-rata remaja usia kuliah.
Menurut saya yang awam ini, para remaja ini tidak memperoleh pengetahuan yang benar tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh, terutama di Banda Aceh. Karena kendornya pengawasan syariat di Banda Aceh selama 5 tahun terakhir, mengakibatkan kebiasaan mereka di daerah asal terbawa ke Banda Aceh. Tradisi buruk tersebut kemudian menjadi hal yang biasa di Banda Aceh.
Saya khawatir keadaan yang salah ini terus berlanjut di Banda Aceh.
Krisis identitas dan kesalahan yang ‘dimanfaatkan’ tersebut justru menjadi hal yang biasa di Banda Aceh.
Saya berharap kegelisahan saya ini tersampaikan ke pihak-pihak terkait.
Penulis adalah Dahlia, warga Banda Aceh. Alamat penulis ada di redaksi.