Oleh Muhammad Jamil. Penulis adalah warga Aceh Utara.
Pembahasan tentang pilkada Aceh menghangat usai pencoblosan. Pembahasan paling menarik adalah soal pilkada di Aceh Utara, terutama untuk Cagub Cawagub-nya.
Ini karena banyak video di social media Aceh memperlihatkan soal adanya dugaan kecurangan di sana.
Sebahagian warga geram. Para pendukung Paslon 01 menilai hal ini merupakan prilaku tercela dan merusak demokrasi di Aceh. Sedangkan pendukung 02 sudah pasti sebaliknya, membela mati-matian hasil tersebut dengan argumentasi. Mereka tutup mata dan menganggap ‘apapun wajar dan sah dalam politik’ asal menang.
Namun bagi penulis, apalagi tinggal di Aceh Utara, kondisi yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang aneh. Apalagi, hal yang sama juga pernah terjadi selama Pileg, baik presiden maupun legislative dari berbagai jenjang di Aceh Utara, beberapa bulan yang lalu.
Bedanya, sebelumnya banyak partai yang merasakannya. Bahkan mungkin partai bersama para pemenang saat ini. Banyak Caleg ‘terpilih’ secara suara masyarakat tapi gagal dalam perhitungan di tingkat penyelenggara untuk tiap jenjang.
“Kon bak awak pileh, tapi bak awak tuleh.”
Maka membahas soal kecurangan Pilkada, apalagi di Aceh Utara, bagi penulis bukanlah sesuatu yang penting untuk saat ini. Karena semua sadar terkait kondisi yang terjadi saat ini. Bahkan mungkin jauh sebelum pemilu dimulai.
Terlebih adanya pemikiran ‘sesat’ soal politik yang sudah dianggap wajar oleh masyarakat umum saat ini.
“Curang boleh, asal menang.”
“Proses tak penting, yang penting adalah hasil.”
Dua hal ini seolah menguatkan bahwa tak ada halal haram dalam politik, yang penting tujuan tercapai. Hal inilah mengapa kemudian banyak orang-orang baik yang kandas di pilkada dan Pileg lalu. Kita harus menerima kondisi Aceh hari ini, dan mungkin 5 tahun kedepan, jika memang pemimpin yang terpilih hari ini ternyata tidak sayang dan cinta kepada masyarakatnya. Atau mereka tidak punya kemampuan untuk membangun daerah.
Inilah resiko sebuah keputusan politik yang tak diikuti dengan kesadaran kolektif untuk menciptakan Aceh yang lebih baik.
Dalam kasus hari ini, sebenarnya ada yang jauh lebih menarik dari soal curang-mencurangi di pilkada. Hal itu adalah sikap negara.
Dimana, jauh hari sebelum pesta demokrasi dimulai, seorang teman ngopi pernah mengatakan, bahwa aparat keamanan seperti intelijen sudah menganalisa kalau pilkada di Aceh Utara dan Aceh Timur rawan konflik dan berpotensi curang.
Kondisi ini karena, rekrutmen petugas KIP hingga jajaran bawah serta Panwaslih hingga jajaran terbawah, bukan lagi rahasia umum, merupakan hasil pertimbangan politik. Yang mau tak mau ‘mereka’ harus tunduk pada penguasa partai ketika momen penting seperti pilkada dan Pileg datang.
Negara sebenarnya juga memiliki perangkat yang jauh lebih lengkap. Aparat keamanan hadir di tiap TPS yang ada di Aceh, termasuk di dalamnya Aceh Utara. Mereka dipastikan memiliki data rill tentang kondisi yang sebenarnya di lapangan.
Maka kembali dalam kondisi hal ini, ketika ada klaim curang seperti sekarang. Harusnya rujukan terakhir adalah aparatur keamanan. Sikap dan tanggungjawab mereka untuk mengungkap yang benar adalah cara terbaik untuk menyelesaikan krisis yang terjadi.
Masyarakat, termasuk kami yang tinggal di Aceh Utara, sudah sangat krisis kepercayaan terhadap para penyelenggara, walaupun beberapa di antara kerabat dekat dan tetangga. Terutama di Pileg dan Pilkada terakhir.
Sudah krisis kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu di Aceh Utara, maka jangan sampai kami juga krisis kepercayaan kepada aparat keamanan.
Jika negara kalah atas aksi premanisme dan kecurangan, maka harapan rakyat sudah pasti sirna.
Penulis berharap, negara benar-benar menunjukan kekuatannya saat ini guna menghadirkan pemimpin yang baik untuk Aceh. Jika tidak, hajat Pileg dan pilkada, bukanlah pesta demokrasi rakyat tapi lebih ke seremonial pengganti penguasa belaka.