Oleh Syaril Maulid. Warga Aceh yang sedang merantau di Surabaya.
SORAK gembira para pendukung dan simpatisan Paslon 02, Mualim Muzakir Manaf dan Fadhulullah atau Dek Fadh, mungkin sedang berlangsung di seluruh Aceh usai pasangan yang didukung mayoritas partai politik ini ditetapkan sebagai peraih suara terbanyak di pilkada Aceh 2024. Sedangkan pasangan 01, Bustami-Fadhil, berdasarkan berita terakhir dan batas akhir Rabu malam 11 Desember 2024 pukul 23.69 WIB, ternyata juga tidak melanjutkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Kondisi ini membuat Mualim-Dek Fadh di atas angin dan hanya menunggu pelantikan saja.
Bagi sebahagian orang di Aceh, terutama pendukung Paslon 02, ini merupakan kemenangan besar setelah pergelutan tajam yang penuh dinamika di Aceh. Penulis lebih memilih menggunakan kata ‘dinamika’ dibanding kata ‘perseteruan dan intrik’ selama pilkada.
Sosok Bustami-Fadhil yang awalnya dianggap ‘bukan lawan geutanyoe’ ternyata nyaris saja menggulung kedigddayaan Mualim di Pilkada Aceh. Seandainya tak ada kejadian khusus di Aceh Utara, mungkin perayaan hari ini justru sedang berlangsung di kubu sebelah.
Poin ini harusnya menjadi catatan penting bagi Aburazak Cs selaku actor di belakang layar pasangan Mualim-Dek Fadh.
Bagi penulis, Mualim merupakan sosok sentral yang kini tersisa di Partai Aceh. Katakanlah, bahwa sosok itu sebagai kartu As terakhir yang dimiliki oleh Partai Aceh, sebagai wadah politik para kombatan GAM setelah penandatanganan damai.
Perlu diketahui, pada 2007 atau pemilu pertama usai damai, Aceh memiliki banyak pilihan di antara elit kombatan dan kaum ideologi. Namun sebahagian besar memilih menepi usai penandatanganan damai. Namun ada Irwandi dan Muhammad Nazar saat itu.
Kemudian pada 2012, ada Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, serta Zakaria Saman di Partai Aceh. Namun dua tetua itu kemudian memilih mundur dan istirahat dari Partai Aceh dari 2017 hingga sekarang.
Sedangkan di 2024 ini, stok yang tersisa adalah Mualim Muzakir Manaf. Biasanya, posisi ‘Kartu As’ harusnya menjadi pilihan terakhir dalam sebuah permainan. Namun pada pilkada 2024, kartu As terakhir pun terpaksa digunakan oleh Partai Aceh dalam pilkada Aceh. Dan kemudian justru menang tipis di Aceh.
Menurut penulis, ini alarm bagi Partai Aceh dan kaum ideologi di Aceh.
Sukses tidaknya pemerintahan Mualim-Dek Fadh selama 5 tahun kedepan, akan berdampak sangat besar pada nasib gerakan ideologi di Aceh. Sedikit kesalahan yang dibuat maka akan berdampak dengan tumbangnya gerakan yang dicetus oleh Hasan Tiro pada 48 tahun yang lalu.
Ini akan menjadi tantangan terbesar bagi kaum ideologi usai berubah dari gerakan senjata menjadi gerakan politik di Aceh.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana merealisasikan janji kampanye dan janji ideologi dari Mualim saat menjabat nantinya. Menurut penulis, dua janji ideologi, yang paling sukar diwujudkan adalah keabsahan dan pengibaran Bendera Bulan Bintang sebagai bendera Aceh di seluruh Aceh serta realisasi setiap butir MoU Helsinki sebagai produk hukum di Aceh dan diakui oleh Pemerintah Pusat di Jakarta.
Dalam kasus ini, ada dua sisi yang saling bertolak belakang. Pertama, Mualim sebagai pimpinan gembong politik ideologi di Aceh yang menginginkan dua hal tadi menemui titik terang di Aceh. Sedangkan yang kedua, Mualim sebagai gubernur atau pimpinan daerah yang merupakan kepanjangan tangan Pemerintah Pusat di Aceh, yang sejauh ini belum mau mengakui Bulan Bintang sebagai bendera kedua di Aceh.
Maka posisi Mualim sangat dilematis sebagai kartu As terakhir. Pusat juga bakal penekan ‘kaum ideologi’ di Aceh melalui Mualem.
Bagi penulis, kemenangan Mualim-Dek Fadh di pilkada, merupakan kemunduran drastic Partai Aceh di Aceh dalam hal politik. Benar atau tidak? Mari kita simak untuk 5 tahun kedepan.
Sanggupkah Mualim ‘mengelola’ pusat atau pusat yang akan ‘mengelola’ Mualim. []