PRILAKU sejumlah bupati di Aceh yang memangkas anggaran tenaga kontrak dengan alasan efisiensi bikin geleng-geleng kepala. Alih-alih melakukan penghematan dibidang lain untuk masyarakat, mereka justru memangkas gaji tenaga kontrak.
Di Aceh Selatan, sang bupati meminta kepala SKPK mengurangi 70 persen gaji para tenaga kontrak. Kebijakan ini tentu akan berujung dengan pemutusan kerja sejumlah tenaga kontrak dan honorer di sana. Atau minimal, para tenaga kontrak hanya mendapat alokasi honor yang sangat kecil selama 2025.
Sementara di Aceh Besar, sejumlah personil Damkar juga dirumahkan dengan alasan yang sama.
Kebijakan ini dinilai sangat menzholimi para tenaga kontrak dan honorer yang selama ini merupakan tulang punggung pemerintah.
Alih-alih memberi perhatian khusus kepada tenaga kontrak dan honorer dengan membantu mereka diangkat PPPK atas pengabdian selama ini, tapi pemimpin baru justru ‘merusak’ harapan hidup para tenaga kontrak ini.
Dari ribuan mata anggaran di APBK 2025, mata para pemimpin ini justru tertuju pada poin honor tenaga kontrak. Padahal, ada banyak mata anggaran lain yang bisa dipangkas dengan alasan efisiensi.
Mata anggaran belanja pegawai, anggaran rumah tangga bupati dan wakil bupati serta pimpinan SKPK seharusnya lebih bisa dipotong jika Pemkab hendak melakukan efisiensi. Jumlah anggaran dari sejumlah poin tadi jauh lebih besar dari mata anggaran honor tenaga kontrak.
Harusnya ‘diet’ efisiensi dimulai dari bupati, wakil bupati dan pimpinan daerah. Namun dalam prakteknya justru sang pemimpin memaksa tenaga kontrak yang harus menahan lapar.
Sementara di sisi lain, bupati ini juga mengangkat para staff ahli yang gajinya juga akan dibebankan pada APBK yang sedang berjalan.
Hal inilah yang bikin geleng geleng kepala.
Mereka telah lolos jadi pejabat negara tapi belum bisa menjadi ‘pemimpin’ daerah.