Tapanuli Tengah – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, masuk ke wilayah Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut). Bupati Tapteng Masinton Pasaribu menyambut baik soal penetapan itu.
“Kita berterimakasih dengan keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan 4 pulau itu dimasukkan ke wilayah Provinsi Sumatera Utara, dalam hal ini pulau-palau tersebut memang berbatasan sama Kabupaten Tapanuli Tengah,” kata Masinton Pasaribu saat dihubungi, Kamis (29/5/2025).
Pemkab Tapteng disebut bakal melakukan pengelolaan hingga pemantauan wilayah tersebut. Termasuk hal-hal lainnya terkait masuknya 4 pulau itu ke wilayah Tapteng.
“Ketika batas Provinsi Aceh dan Sumatera Utara itu pulau-pulau tersebut dimasukkan ke Sumatera Utara tentu dalam pengelolaan, pembinaan di teritori, pemantauan, apa segala macam akan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah,” ucapnya.
Meskipun demikian, Masinton mengaku baru mengetahui informasi itu dari pemberitaan. Pihaknya bakal meninjau 4 pulau itu setelah menerima informasi resmi.
“Saya belum dapat informasi detailnya karena melihat di Kabupaten Tapanuli Tengah ada beberapa pulau nggak ada penghuni, kami kan baru tahu dari media, nanti kalau sudah ada informasi resmi dari Provinsi Sumatera Utara kami Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah akan langsung melakukan peninjauan ke lokasi 4 pulau tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pemerintah Aceh mengaku akan memperjuangkan perubahan status agar keempat pulau itu dikembalikan ke Tanah Rencong.
Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Status administratif ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025.
“Proses perubahan status keempat pulau tersebut telah berlangsung sebelum tahun 2022, jauh sebelum Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah menjabat. Pada tahun 2022, beberapa kali telah difasilitasi rapat koordinasi dan survei lapangan oleh Kementerian Dalam Negeri,” kata Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, dalam keterangannya, Senin (26/5).
Menurutnya, Pemerintah Aceh berkomitmen memperjuangkan peninjauan ulang keputusan tersebut sehingga keempat pulau kembali masuk wilayah administratif Aceh. Ketika proses verifikasi dilakukan beberapa waktu lalu, Pemerintah Aceh bersama tim Kemendagri telah turun langsung ke lokasi untuk melakukan peninjauan keempat pulau.
Dalam verifikasi, Pemerintah Aceh disebut menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, serta foto-foto pendukung. Verifikasi ini juga melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Di Pulau Panjang, misalnya, Pemerintah Aceh memperlihatkan sejumlah infrastruktur yang dibangun Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil, seperti tugu selamat datang, tugu koordinat yang dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada tahun 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga yang dibangun pada tahun 2015.










Bukannya suuzon, tentu mereka senang dengan mendirikan gereja yg tinggi-tinggi nantinya dan memelihara babi yg banyak untuk buat babi panggang ekspor ke korea…..ship kan …
ILLEGAL TDK SAH DAN TDK BERKEPATUTAN LHT SEJARAH JGN LAHIRKAN KEBODOHAN . . ATJEH SIAP TUMPAH DARAH
Keputusan aneh Depdagri, plus Menteri & Pejabatnya. Bukti & fakta menguat kepemilikan ke provinsi Aceh, bahkan Bupati Tapteng sendiri Gk tahu menahu tentang pulau itu. Tp koq bisa pula kepemilikan jatuh ke Sumut. Hasil lobby tingkat atas.
Ada Udang Di Balik Peyek nih…
Jangan disekitaran pulau tersebut ada SDA yg melimpah.. ayo gubernur aceh.jangna mau wilayah Aceh direbut oleh Sumut.. ini lah saat berjuang mengangkat suara dengan lantang.. kembalikan ke Aceh…
Akan kita buat komplik lagi di Aceh,, berperang melawan penjajah yg rebut kepulauan Aceh, kami bangsa Aceh siap tempur )
Jangan cerita tumpah darah kau . Apa sdh banyak darah kau. Kalimat mu. Kalimat org gak Ada otak. Pemecah bangsa kau
Saya tidak paham dengan dua komentar (saat komentar ini sedang ditulis) di berita ini. Apakah ada yang bisa menjelaskan mengapa hal ini dianggap tidak legal atau bahkan merugikan (?) rakyat?
Jelas rugi kami rakyat Aceh paok
Kepulauan Aceh tetap hak Aceh ,
Amputasi Wilayah Aceh Hasil Karya Menteri Kabinet Merah Putih
Aturan yang dibuat oleh tito karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, kembali mengguncang emosi dan harga diri warga Aceh, setelah sebelumnya membuat aturan yang bertentangan dengan UU PA, yaitu mengenai Bendera Aceh. Kini dia mengamputasi wilayah Aceh dengan kekuasaannya sebagai Menteri Kabinet Presiden Prabowo.
Empat pulau yang sebelumnya bagian dari dalam Kepulauan Banyak yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang selama ini secara historis, administratif, dan budaya berada dalam wilayah Aceh, tiba-tiba dipindahkan ke bawah naungan administratif Provinsi Sumatera Utara. Hal ini ditegaskan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
Keputusan kontoversial itu menimbulkan gelombang protes juga memunculkan dugaan negatif warga Aceh terhadap kekuasaan Presiden Prabowo Subianto, karena pemindahan itu dilakukan secara sepihak oleh tito karnavian, dan mengabaikan semua fakta yang telah lama tersedia dan jelas, yang mendukung klaim Aceh atas keempat pulau itu.
Fakta dan Bukti Kepemilikan Aceh atas Empat Pulau tersebut diantaranya adalah berbagai infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Di Pulau Panjang terdapat tugu selamat datang dan tugu koordinat yang dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga Aceh tahun 2012, rumah singgah dan mushala yang juga dibangun tahun 2012, serta dermaga yang selesai dibangun pada 2015.
Pulau-pulau itu juga memiliki dokumen dan monumen yang secara eksplisit menunjukkan bahwa ke empat pulau tersebut berada di wilayah Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil, seperti dokumen berupa peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992 yang disaksikan langsung oleh Mendagri pada masa itu.
Warga yang tinggal di pulau tersebut memegang KTP Aceh dan tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) wilayah Aceh. Ini adalah fakta administratif yang kuat dan tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja oleh sosok Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia saat ini
Fakta lainnya yang semakin memperkuat posisi Pemerintah Provinsi Aceh adalah dokumen berupa surat kepemilikan tanah di wilayah tersebut yang telah ada sejak 1965.
Maka, bagi siapa pun yang bernalar waras, secara substansi sudah sangat jelas bahwa keempat pulau itu adalah bagian dari Provinsi Aceh.
Dengan semua fakta yang telah ada, wajar publik Aceh patut mencurigai adanya hal tidak wajar atas Keputusan Mendagri atas 4 pulau Aceh tersebut. Dugaan kuat mencuat bahwa ada pengaruh kuat dari kekuasaan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang dikenal sebagai orang dekat Joko Widodo dengan kekuasaan Gubernur Sumatera Utara saat ini, Bobby Nasution, yang merupakan menantu mantan Presiden Joko Widodo. Dari jejak digital dapat kita ketahui bahwa pada masa Bobby Nasution masih menjabat sebagai Walikota Medan, dia lebih mudah bertemu Menteri Dalam Negeri daripada Gubernur Sumatera Utara masa itu.
Keputusan Mendagri yang kontroversial itu yang mengabaikan semua fakta dan proses sebelumnya, dikeluarkan saat gubernur Sumut dijabat oleh menantu mantan presiden joko widodo, mengapa bukan di saat Gubernur Sumatera Utara dijabat oleh Letjen (Purn) Edy Rahmayadi. Kita ketahui bahwa Tito Karnavian adalah orang dekat joko widodo yang juga menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri saat Gubernur Sumatera Utara dijabat oleh Letjen (Purn) Edy Rahmayadi. Jika Tito Karnavian sebagai Mendagri mampu mengabaikan semua fakta dan proses sebelumnya, lalu apa alasan paling masuk akal hingga dia mau mengeluarkan keputusan yang kontroversial saat menantu mantan presiden joko widodo menjabat Gubernur Sumut, bukan pada masa Gubernur Edy Rahmayadi.
Sepengetahuan saya bahwa ilmu sejarah adalah pelajaran wajib bagi siapapun yang belajar strategi, termasuk strategi militer, maka dari sejarah video pernyataan Jokowi yang menyebut bahwa pemagaran laut boleh saja dilakukan jika memiliki legalitas, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip umum bahwa laut tidak bisa diberikan Sertifikat Hak Milik (SHM). Dan karena Bobby Nasution adalah menantu Joko Widodo, maka hal keputusan Mendagri yang kontroversial itu, patut diduga sebagai sinyal bahwa ada agenda tersembunyi terhadap sumber daya laut di kawasan itu.
Bukti bahwa Keputusan Mendagri itu adalah bentuk dari pengabaian proses sebelumnya, yaitu pada tahun 2022, Kemenko Polhukam (dijabat oleh Bapak Machfud MD) telah memfasilitasi rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga, yang menyimpulkan bahwa keempat pulau itu masuk dalam cakupan wilayah Aceh. Maka keputusan terbaru Mendagri jelas mengabaikan semua proses panjang yang telah berlangsung, dan kepentingan segelintir elit yang mempunyai agenda tertentu atas wilayah itu yang menjadi pertimbangan utama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Pelajar sekolah dasar pun tahu bahwa kantor berita resmi Pemerintah Indonesia adalah ANTARA. Media ANTARA pernah menerbitkan berita pada Jumat, 20 November 2020, dengan judul “Aceh Singkil jadikan Pulau Panjang destinasi wisata keluarga”. Dalam berita itu disebutkan secara tegas bahwa Pulau Panjang berada di Kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Maka keputusan Mendagri terkait pulau pulau itu dan analogi sang mantu mantan presiden adalah bukti mereka tidak mengakui keabsahan berita dari kantor berita resmi Pemerintah Republik Indonesia, masih pantaskah mereka dihargai sebagai pejabat publik? maka hanya orang waras yang mampu menjawab dengan benar.
Pernyataan Bobby Nasution yang menganalogikan batas provinsi dengan batas antara Kota Medan dengan Kabupaten Deli Serdang, menimbulkan kritik tajam, karena perbandingan ini tidak hanya keliru secara logika, tapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman dan wawasan serta kosong dalam kebijaksanaan sebagai pemimpin setingkat provinsi. Hal ini memunculkan anggapan bahwa ia adalah instrumen dari agenda kekuasaan tertentu, idealnya seorang pemimpin tercitrakan dari kebijaksanaan bukan dari analogi yang tidak relevan.
Sejarah mencatat bahwa penggabungan Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara di masa lalu menjadi pemicu utama konflik panjang antara Aceh dan pemerintah pusat, yang menimbulkan ribuan korban jiwa dikedua belah pihak. Keputusan Mendagri Tito Karnavian sepertinya coba mengulang menoreh luka pada sejarah tersebut, maka warga Aceh harus tetap bersikap bijaksana dan waras meskipun atas kelakuan dungu seorang Menteri yang berpangkat jenderal penuh.
Bagi saya pribadi, Keputusan Mendagri itu adalah hal yang menguntungkan, ketika ada yang bertanya hal empat pulau tersebut maka saya juga akan menjelaskan sejarah tambang minyak di Pangkalan Brandan yang direbut oleh pejuang Aceh namun manfaat ekonominya justru dinikmati oleh pemerintah pusat. Aceh telah banyak berkorban demi Republik, tapi balasan setimpal tak pernah benar-benar datang. Allahu Akbar..!
Keempat pulau itu memiliki potensi strategis, termasuk sumber daya alam. Dalam konteks kekhususan Aceh berdasarkan MoU Helsinki, penyerahan pulau-pulau tersebut ke Sumatera Utara adalah celah bagi pusat untuk mengatur ulang kontrol atas wilayah Aceh yang kaya. Maka wajar bila publik curiga bahwa ini bukan sekadar soal batas wilayah, melainkan soal eksploitasi ekonomi dan motif terselubung lainnya.
Maka kelakuan (karena tidak pantas disebut sebagai kebijakan) Tito Karnavian yang mengeluarkan keputusan tersebut adalah bentuk nyata dari amputasi wilayah Aceh. Ini dilakukan tanpa kajian kuat dan mengabaikan proses historis. Aceh seolah diposisikan hanya sebagai objek, bukan subjek dalam perumusan batas wilayah.
Adalah hal cerdas jika sebagian masyarakat Aceh memandang bahwa keputusan Mendagri kabinet Presiden Prabowo ini adalah bagian dari bentuk keterjajahan Aceh oleh pemerintah pusat. Sebuah narasi yang seharusnya tidak perlu tumbuh kembali, jika keadilan dan penghormatan terhadap fakta dan sejarah benar-benar dijunjung tinggi oleh orang yang hanya bisa berkuasa atas titah Presiden terpilih, seperti Tito Karnavian.
Saya menuliskan ini sebagai bentuk terimakasih saya pada perempuan Aceh yang mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik saya, maka apapun risiko atas tulisan saya untuk membela tanah kelahiran ibu saya sudah lama dan berulang kali saya hadapi, “bek katakot keu darah ilee adakpih matee poma karila”.
Aceh adalah tanah yang dipenuhi oleh keberanian bersuara terhadap ketidakadilan, tidak pernah tunduk pada bahasa penjajah, jauh sebelum Indonesia ada, seharusnya Indonesia (dalam hal ini Mendagri Tito Karnavian) sedikit sadar diri ketika berhubungan dengan Aceh yang adalah wilayah modal penyokong awal Republik Indonesia, namun lagi dan lagi, pepatah “susu dibalas dengan tuba” terjadi lagi. Allahu Akbar..!
Untuk diketahui oleh siapapun bahwa Aceh adalah wilayah paling loyal terhadap Republik Indonesia yang pernah disokongnya dengan segala daya. Namun sejarah pula yang mencatat, bahwa sikap kritis Aceh terhadap pemerintah pusat acap kali berujung pada langkah amputasi wilayah secara perlahan tapi pasti. Adakah karena Sikap Kritis Aceh pada pemerintah pusat yang masih berlaku tidak adil, membuat wilayah Aceh harus diamputasi?, fakta pahit yang terus berulang, dari masa ke masa.
Keputusan administratif yang mengabaikan sensitivitas sejarah dan identitas Aceh dapat menjadi “bumerang yang kembali dalam keadaan terbakar”. Keputusan kontoversial sang Mendagri itu harus disebarkan supaya dipahami oleh generasi muda Aceh sebagai pengulangan ketidakadilan yang telah mereka warisi. Potensi lahirnya gelombang baru separatisme pada generasi Aceh sangat mungkin terjadi karena perasaan dipinggirkan terus berulang.
Aceh bukan tanah kosong tanpa sejarah. Ia adalah pelita yang pernah menyala terang di awal kemerdekaan Republik ini. Maka amputasi demi amputasi wilayah, adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan nilai-nilai persatuan itu sendiri.
Sosok ideal pemimpin di tanah Sumatra, sepatutnya menjadi penjaga perdamaian di tanah Sumatra, bukan menjadi pemicu luka baru. Kebijaksanaan seseorang sebagai pemimpin, bukan diukur atas alasan prosedur, tetapi atas nama keadilan sejarah dan kedamaian, bukan membenarkan sesuatu dengan analogi DUNGU yang tidak relevan.
Tuan Panglima mungkin telah lama diam, tetapi rakyat Aceh tak akan pernah lupa, karena sejarah selalu mencatat, siapa yang menjahit luka, dan siapa yang mengoyaknya kembali.
Keputusan Mendagri Tito Karnavian yang kontoversial hal empat pulau itu adalah satu lagi episode menyakitkan, dan bagi rakyat Aceh, ini bukan soal politik belaka. Ini adalah soal harga diri, identitas, dan masa depan.
Aceh tidak diam. Aceh menolak. Dan dunia perlu tahu, bahwa tanah Aceh belum kehilangan semangatnya untuk berdiri tegak meskipun Raja dan para Panglimanya sudah lunglai, seorang perempuan bernama Cut Nyak Dhien sudah meninggalkan generator nyali yang akan mempermalukan setiap putra Aceh yang penakut pada kekuasaan, beliau membuktikan bahwa kekuatan Aceh bukanlah pada Raja yang bisa dipalsukan musuh, bukan pula pada Panglima yang berkhianat pada sumpahnya.
Sinis terhadap kekuasaan adalah “Jalan Ninja Ku” ~ AGAM BITAY
Luar Biasa… Allahu Akbar… !!!
Indonesia Memang Penjajah ????????????
Uu diatas peraturan mentri
Akan kita buat komplik lagi di Aceh,, berperang melawan penjajah yg rebut kepulauan Aceh, kami bangsa Aceh siap tempur )
Kalau ada bukti Otentik bahwa Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek milik Aceh, mengapa pemerintah RI memutuskan ke-4 pulau tersebut menjadi milik Sumatera Utara?…
Pulau-pulau itu kan milik Aceh.
Memang pada dasarnya masyarakat Aceh sudah tidak heran lagi atas persoalan seperti ini, sebab jangankan menyerahkan 4 pulau milik Aceh bahkan melebur provinsi Aceh menjadi wilayah kabupaten Sumatera Utara pun sudah dilakukan oleh pemerintah pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa silam.
Selesaikan saja masalahnya di jakarta… Gada gunanya rakyat jelata yg ribut. Pejabatnya foya foya plus maen sama psk.
Ini akan memicu konflik baru Aceh sedang berdamai 4 pulau di rampas Sumut ????
Bedeoh tengku beudoh, bek tuenget sabe
Kalau ada bukti Otentik bahwa Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek milik Aceh, mengapa pemerintah RI memutuskan ke-4 pulau tersebut menjadi milik Sumatera Utara?…
Pulau-pulau itu kan milik Aceh.
Memang pada dasarnya masyarakat Aceh sudah tidak heran lagi atas persoalan seperti ini, sebab jangankan menyerahkan 4 pulau milik Aceh bahkan melebur provinsi Aceh menjadi wilayah kabupaten Sumatera Utara pun sudah dilakukan oleh pemerintah pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa silam.
Pemerintah pusat lagi2 blunder.. inilah yg dikatakan air susu dibalas dgn air tuba.. Aceh jadi eksprimen. Mendagri lagi menuai permusuhan dgn bangsa Aceh.. MOU helsynki jelas tertera batas wilayah Aceh… Untuk rakyat Batak apakah kalian sdh melupakan peristiwa Medan Area.. ?
Dari komentar disini sudah kelihatan PENGHIANAT BANGSA itu siapa aja. Pisah pulau bukan pisah negara bangsat!.. sana merdeka aja kau, kalo mmg dari awal niat mu mau berkhianat merdeka sendiri!. Udah apa kontribusi mu sama negeri ini!
nggak ada namanya Indonesia tanpa aceh. camkan itu bangsat
Coba di balik deh kalau memang smua yg berkomentar disini adalah para bangsat. Coba anda posisikan pulau d Sumut di ambil oleh Aceh atau oleh Provinsi lain. Apakah anda akan diam saja menonton, atau anda bertepuk tangan karena senang melihat pulau di prov anda tinggal sudah menjadi milik prov lain? Coba lebih bijak dalam berkomentar, jgn asal keluar dari mulut. Tidak perlu munafik..
Coba di balik deh kalau memang smua yg berkomentar disini adalah para bangsat. Coba anda posisikan pulau d Sumut di ambil oleh Aceh atau oleh Provinsi lain. Apakah anda akan diam saja menonton, atau anda bertepuk tangan karena senang melihat pulau di prov anda tinggal sudah menjadi milik prov lain? Coba lebih bijak dalam berkomentar, jgn asal keluar dari mulut. Tidak perlu munafik..
Bupati aja kaget tiba2 dpt 4 pulau tnp diperebutkan,
Aceh tidak ada pembangunan di ke 4 pulau itu.
Wajar aja najis haramm jaddah masuk provinsi aceh ????????