Oleh Nurhaliza Sembiring. Penulis adalah mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry.
Selama ini, orang-orang termasuk mahasiswa mengira bahwa demo hanyalah tentang turun kejalan, berteriak di depan gedung Pemerintah, membawa spanduk dan berorasi padahal itu masih sebagian kecil dari perjuangan yang lebih luas. Advokasi bukan hanya soal itu tetapi soal strategi, data dan keberanian untuk masuk ke dalam ruang ruang keadilan.
Sebagai Mahasiswa kita memiliki modal besar yaitu pengetahuan, akses informasi dan juga semangat juang untuk perubahan menuju Indonesia Emas. Tetapi semua itu tidak ada artinya jika kita tidak dapat menyampaikan secara strategis. Ketika mendengar kata “advokasi”, bayangan yang paling sering muncul adalah massa yang turun ke jalan, orasi lantang, spanduk besar, dan wajah-wajah marah menuntut perubahan.
Narasi ini memang sudah melekat kuat di benak masyarakat, termasuk mahasiswa. Sayangnya, pemahaman semacam ini membuat advokasi seolah terbatas hanya pada aksi protes fisik, padahal sebenarnya jauh lebih luas dan strategis. Advokasi adalah proses panjang yang butuh riset, jaringan, argumentasi yang kuat, dan kemampuan membaca situasi.
Advokasi bisa dilakukan dari ruang-ruang diskusi kampus, media sosial, forum audiensi, hingga kolaborasi lintas komunitas. Ketika kita menemukan kebijakan yang tidak adil—baik di kampus, daerah, maupun nasional—kita bisa memulainya dengan membaca regulasi, mengumpulkan data lapangan, menulis opini, membuat petisi online, bahkan menyusun policy paper yang bisa diserahkan kepada pihak terkait. Semua itu adalah bagian dari advokasi.
Demo bukanlah sesuatu yang salah. Dalam sejarah, banyak perubahan besar justru dimulai dari jalanan—Reformasi 1998, misalnya. Tapi demonstrasi hanya satu bagian dari keseluruhan proses advokasi. Kalau kita hanya berhenti di aksi jalanan tanpa strategi lanjutan, maka advokasi kita akan cepat redup begitu massa bubar.
Yang dibutuhkan saat ini adalah smart activism—aktivisme yang tidak hanya vokal, tapi juga rasional. Kita perlu riset sebelum bergerak, perlu memahami siapa pengambil kebijakan yang perlu kita dekati, dan strategi komunikasi seperti apa yang efektif di era digital seperti sekarang. Membangun narasi di media sosial, membuat infografis kebijakan, hingga menyelenggarakan kampanye digital adalah bentuk advokasi modern yang relevan dengan dunia mahasiswa saat ini.
Advokasi tidak boleh lagi dilihat sebagai aktivitas marjinal atau sekadar reaksi emosional. Ia adalah seni mempengaruhi kebijakan dengan pengetahuan, integritas, dan keberanian.
Mahasiswa sebagai kelompok terdidik harus bisa memimpin perubahan bukan dengan kekerasan, tapi dengan kecerdasan. Maka mari kita ubah cara pandang: advokasi bukan cuma demo. Ia adalah strategi panjang yang membutuhkan ketekunan, ilmu, dan kolaborasi. Jika kita ingin perubahan yang nyata, kita harus belajar menjadi bagian dari solusi—bukan hanya suara yang marah, tapi juga suara yang didengar dan diikuti.